MUKTAMAR NU I TAHUN 1926
Keputusan
hasil Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) I di Surabaya pada 13 Rabi’uts
Tsani 1345 H/ 12 Oktober 1926 M sering dijadikan senjata oleh sebagian
pihak terhadap Nahdliyin untuk melarang Tahlilan. Dikatakan bahwa NU
pada masa awal didirikannya dan pada masa kepemimpinan KH. Hasyim
Asy’ari memutuskan bahwa tahlilan itu bid’ah yang dilarang dalam Islam.
Hal ini didasarkan atas keputusan Muktamar NU I yang juga termuat dalam
kitab I’anat ath-Thalibin.
Padahal kalau mereka mau menelusuri
dengan seksama hasil keputusan Muktamar NU I maupun mendalami lebih jauh
apa yang tertulis dalam kitab I’anat ath-Thalibin yang menjadi dasar
keputusan itu maka akan didapatkan jawaban yang berseberangan atas
tuduhan golongan sepihak itu.
Tanpa mau mempelajari lebih detail
tentang hasil keputusan Muktamar NU I ini, dengan serta merta dan
membabi buta, golongan sepihak yang anti-Tahlil membuat kesimpulan
sendiri. Mereka menyatakan bahwa NU melarang Tahlilan atau pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari melarang umat Islam untuk Tahlilan.
Alasannya Tahlilan itu bid’ah yang tercela. Benarkah demikian? Ternyata
apa yang dituduhkan golongan anti-Tahli adalah tidak benar. Buktinya
Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak
melarang Tahlilan. Beliau mengatakan:
فَإِذَا
عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ أَنَّ مَا قِيْلَ أَنَّهُ بِدْعَةٌ
كَاتِّخَاذِ السَّبْحَةِ وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَةِ وَالتَّهْلِيْلِ
عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ
وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَإِنَّ مَا
أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ
وَاللَّعْبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ – رسالة
أهل السنة والجماعة صـ 8
“Jika Anda mengetahui apa yang telah
disebutkan (tentang 5 macam Bid’ah), maka Anda akan mengetahui tentang
tuduhan “Ini adalah bid’ah”, seperti menggunakan tasbih, mengucapkan
niat, tahlil ketika sedekah untuk mayit dengan menghindari hal-hal yang
dilarang, ziarah kubur dan sebagainya, bukanlah bid’ah. Sedangkan
memungut uang dari orang-orang di pasar malam dan permainan kerasukan
adalah bid’ah yang paling buruk.” (Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah
halaman 8).
Namun oknum Salafi-Wahabi tetap saja
mencoba mendatangkan dalil-dalil larangan khususnya Tahlilan, dimana
dalil-dalil khusus tentang pelarangan Tahlil tersebut tidak pernah ada,
dan dibuat buat seolah-olah memang ada. Ketidakshahihan dalil pelarangan
ini dibuat sedemikian rupa dengan cara apapun termasuk berbohong,
mencatut bahkan memotong-motong fatwa dimana pengertiannya sudah jauh
dari pada referensi yang diambilnya.
Celakanya banyak orang-orang awam yang
ikut-ikutan hanya dengan belajar dan membaca di internet atau buku-buku
terjemah saja langsung menelan mentah-mentah dan membebek (taklid buta)
ikut mengcopy paste sambil berteriak-teriak bid’ah dan melarang yang
sebenarnya tak ada larangan yang shahih dari agama tentang Tahlilan ini.
Jawaban Bantahan:
1. Muktamar NU I di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926
Kutipan:
_________________
Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsani 1345 H /21 Oktober 1926 di Surabaya mengatakan bahwa Tahlilan adalah Bid’ah Mungkarah merujuk kepada kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 165-166.
_________________
_________________
Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsani 1345 H /21 Oktober 1926 di Surabaya mengatakan bahwa Tahlilan adalah Bid’ah Mungkarah merujuk kepada kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 165-166.
_________________
Jawaban Bantahan:
Perlu diluruskan di sini bahwa dalam
Muktamar NU I Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsani 1345
H /21 Oktober 1926 di Surabaya tidak ada yang membahas soal Tahlilan.
Yang dibahas dalam Muktamar itu ada ada 27 soal. Salah satu soalnya,
yakni soal ke-18, yang dibahas adalah masalah “Keluarga Mayyit
Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah”. Di dalamnya dijelaskan antara
lain bahwa: “Bid’ah dhalalah jika prosesi penghormatan kepada mayyit di
rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau “memuji secara
berlebihan.” Antara “Tahlilan” dengan “Meratapi” jelas sangat jauh
berbeda pengertiannya.
2. Kitab I’anat ath-Thalibin Juz 2 Halaman 165-166
Kutipan: Setidaknya ada 5 pernyataan
yang mereka comot dari kitab I’anat ath-Thalibin secara tidak jujur dan
memelintir maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan.
Ini banyak dicantumkan di situs-situs mereka dan dikutip oleh sesama
mereka secara serampangan pula.
_________________
_________________
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر
“Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni
berkumpul di rumah keluarga si mayit dan dihidangkan makanan, merupakan
bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya.
Dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat
mendukung Islam dan Muslimin.” (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 165).
وما اعتيد
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك،
لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم
الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang
hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan
adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para
undangan ke acara itu. Karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari
Jarir Ra.: “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit,
mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk
nihayah (meratap) –yakni terlarang.”
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم
“Dalam kitab al-Bazaz dikatakan:
“Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh
hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”
“Dan diantara bid’ah yang munkarat yang
tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara
penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh,
bahkan semua itu adalah haram.” (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman
145-146).
“Dan tidak ada keraguan sedikitpun,
bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan sunnah
Nabi Saw., mematikan bid’ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan
menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan. Karena orang-orang
memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal
yang diharamkan.” (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 145-146).
_________________
_________________
Jawaban Bantahan:
Mengusik amalan seseorang Muslim dengan
menukil pernyataan ulama dari kitab muktabar secara serampangan
(mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak
berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk
telah memfitnah ulama yang perkataannya telah mereka nukil, merendahkan
kitab ulama dan juga telah menipu kaum Muslimin. Dakwah mereka
benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatasnamakan Madzhab
Syafi’i untuk menjatuhkan amalan Tahlil.
1. Kedustaan Pertama
Nukilan di atas merupakan bentuk
ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa
berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang
disediakan adalah termasuk bid’ah munkarah. Padahal bukan seperti itu
yang dimaksud oleh kalimat tersebut. Mereka telah menggunting (menukil
secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang
dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yang benar,
bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan
sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang mereka nukil dimulai dengan kata
“na’am” (iya). Berikut teks lengkapnya:
وقد اطلعت
على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب
منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم
للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص
إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم
ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام،
ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس
الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية
بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى
عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع
المذكور ؟
“Dan sungguh telah aku perhatikan
mengenai pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah
tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayyit perihal makanan (membuat
makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara
tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya; pertanyaan dan jawaban
tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para mufti yang mulia di
Negeri al-Haram, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mereka untuk
seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di
suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah
hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya.
Lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka
(pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat
malu telah meliputi keluarga mayyit maka mereka membebani diri dengan
beban yang sempurna. Dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan
yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan
rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan
kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit
dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar
(manusia) kembali berpegang kepada as-Sunnah yang lurus, yang berasal
dari manusia yang terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau Saw., saat
ia bersabda: “Sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar.” Apakah
pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu)?
أفيدوا
بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا
محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب.
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع
المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به
الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa
yang telah ditanyakan, (ya Allah kumohon kepadaMu supaya memberikan
petunjuk kebenaran). Iya, apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul
di tempat keluarga mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari
bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan
menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan
mendorong Islam serta umat Islam.”
Betapa apa yang dikehendaki dari
pernyataan di atas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong
sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka gunakan untuk melarang
Tahlilan. Ketidakjujuran ini yang mereka dakwahkan untuk menipu umat
Islam atas nama kitab I’anat ath-Thalibin.
Dalam pertanyaan dan jawaban di atas,
yang sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah munkarah adalah kebiasaan
pentakziyah menunggu makanan di tempat keluarga yang terkena mushibah
kematian. Akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar
dan memang patut untuk dihentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti
Mekkah menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah munkarah, dan
penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala.
Namun, karena keluasan ilmu dari mufti tersebut tidak berani untuk
menetapkan hukum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan
sebab-sebabnya pun luas.
Tentu saja, mufti tersebut kemungkinan
akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan
tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk
menghibur, menyabarkan keluarga mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan
berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah
yang datang.
Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan
datang ke rumah ahlu mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas
kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak
perlu mengadakan Tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang
lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap
keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan
tersebut, apakah orang lain atau keluarga mayyit itu sendiri ?
Keinginan keluarga mayyit untuk
mengadakan Tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang
ke kediamannya merupakan pertanda keluarga mayyit memang
menginginkannya dan tidak merasa keberatan. Sementara para tetangga
(hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa keluarga mayyit untuk
mengadakan Tahlilan. Keluarga mayyit mengetahui akan dirinya sendiri
bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan
saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa
mereka diundang dan memenuhi undangan keluarga mayyit.
Sungguh betapa sangat menyakitkan hati
keluarga mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang
dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama,
melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur keluarga
mayyit sehingga membuat hati mereka senang atau menghindari “yang
dianggap makruh” dengan menyakiti hati mereka? Tentu saja akal yang
sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang
tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti
perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di sisi yang lain antara keluarga mayyit
dan yang diundang sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana keluarga
mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak
mendoakan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama
mayyit dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman.
Pada sisi yang diundang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan
memenuhi undangan, mendoakan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan
menghibur keluarga mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang
diharamkan? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam
menetapkan hukum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi
“menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal
itu tidak benar-benar ada.
Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang
dilakukan oleh orang awam yang sangat membebani dan menyusahkan karena
ketidak mengertiannya dalam masalah agama, secara umum tidak bisa
dijadikan alasan untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Bagi
mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan dihukumi.
2. Kedustaan Kedua
Kata yang seharusnya merupakan status
hukum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari
pernyataan tersebut menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti
“akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci),
“bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah
yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap
jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum
haram mutlak. Padahal dalam kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum
“makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayyit dan
dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti
takziyah, hukum mendoakan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu
dihukumi sunnah.
Bacalah terjemahan mereka yang sudah dituliskan di atas. Padahal teksnya yang benar adalah:
وما اعتيد
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك،
لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم
الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari keluarga mayyit
membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini
bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan
itu. Sesuai dengan hadits shahih dari Jarir Ra.: “Kami (sahabat)
menganggap bahwa berkumpul ke keluarga mayyit dan menyediakan makanan
(untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) adalah bagian dari meratap.”
Mereka secara tidak jujur menterjemahkan
status hukum “makruh” pada kalimat di atas. Dan hal itu sudah menjadi
tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak
pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka
harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)
tersebut.
Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima
(5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam
kitab Syarah Shahih Muslim juz 7 halaman 105:
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam; bid’ah yang wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.”
Bila ingin memahami perkataan para ulama
Madzhab Syafi’i, maka harus faham juga istilah-istilah yang ada dan
digunakan di dalam Madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian
bid’ah ini mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat
dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah. Dan untuk
menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau
mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang
mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.
Status hukum yang disebutkan pada
kalimat di atas adalah “makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh,
bukan haram, yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak
mendapat dosa bila dilakukan. Makruh yang disebutkan di atas juga
terlepas dari hukum takziyah itu sendiri.
Kemudian persoalan “an-Niyahah”
(meratap) yang disebut dalam hadits shahih di atas, dimana hadits
tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah. An-Niyahah memang perbuatan
yang dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh
bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia,
sedangkan Rasulullah Saw. saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu
Beliau (Fatimah) wafat. Disaat beliau Saw. mencucurkan air mata, sahabat
Sa’ad Ra. Bertanya:
فَقَالَ
سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا
اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ
الرُّحَمَاءَ
“Ya Rasulullah, apakah ini?” Jawab
Rasulullah Saw.: “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan
di hati para hambaNya, Allah hanya merahmati hamba-hambaNya yang
mengasisihi.” (HR. Imam Bukhari no. 1284).
Rasulullah Saw. juga menangis saat
menjelang wafatnya sang putra yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf Ra.:
فَقَالَ
لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ
أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى
رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Abdurrahmah bin ‘Auf bertanya kepada
Rasulullah Saw.: “Dan anda wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda:
“Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang
lain beliau kata “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata dan hati
bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan
Allah. Sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih karena perpisahanku
dengan Ibrahim.” (HR. Imam Bukhari no. 1303).
Rasulullah Saw. juga menangis di makam
ibundanya sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih. (Lihat dalam Mughni al-Muhtaj
ila Ma’rifat Ma’aniy Alfadz al-Minhaj juz 1 halaman 356 karya Imam
Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, cet. Dar el-Fikr).
Maka meratap yang sebenarnya dilarang
(diharamkan) yang disebut sebagai “an-Niyahah” adalah menangisi mayyit
dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi
berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik
rambut, dan lain sebagainya.
Kembali kepada status hukum “makruh” di atas, sebagaimana juga dijelaskan di dalam kitab al-Mughniy juz 2 halaman 215:
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
“Maka adapun bila keluarga mayyit
membuat makanan untuk orang maka itu makruh. Karena bisa menambah atas
mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru
perbuatan jahiliyah.”
Makruh bukan haram, dan status hukum
makruh bisa berubah menjadi mubah (boleh) jika keadaannya sebagaimana
digambarkan dalam kitab tersebut di tulisan selanjutnya:
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada
(sebab) hajat, maka itu diperbolehkan. Karena barangkali diantara yang
datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan
menginap di rumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka
mesti dijamu (diberi hidangan).”
3. Kedustaan Ketiga
Penukilannya juga tidak tepat dan keluar
dari konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat
sebelumnya. Dan mereka juga menterjemahkan status hukum yang ditetapkan
dalam kitab al-Bazaz secara keliru. Berikut teks lengkapnya yang benar:
وقال أيضا:
ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى
الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد
الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره
اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر
في المواسم إلخ
“Dan (juga) berkata: “Dan dimakruhkan
penyediaan jamuan besar dari keluarga mayyit, karena untuk mengadakan
kegembiraan, dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan
Ibnu Majah dengan isnad yang shahih dari Jarir bin Abdullah Ra.: “Kami
(sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) keluarga mayyit dan
menyediakan makanan bagian dari meratap.” Dan dalam kitab al-Bazaz:
“Dimakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ketiga dan setelah
satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke
kuburan pada musiman.”
Apa yang dijelaskan dalam kitab al-Bazaz
adalah sebagai penguat pernyataan makruh sebelumnya (masih terkait
dengan apa yang disampaikan sebelumnya). Namun sayangnya, mereka menukil
separo-separo sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng.
Parahnya lagi mereka gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian
mereka terhadap kegiatan tersebut dan tidak menjelaskan apa yang
sebenarnya dimakruhkan.
Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan
besar untuk tamu (adh-Dhiyafah) yang dilakukan oleh keluarga mayyit
untuk kegembiraan. Status hukum ini adalah makruh bukan haram, namun
bisa berubah menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan dalam kitab
al-Mughniy di atas.
4. Kedustaan Keempat
Mereka menampilkan teks secara tidak utuh. Berikut adalah teks lengkapnya yang benar:
وفي حاشية
العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله
الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور،
أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
“Dan di dalam kitab Hasiyat al-Jamal
‘ala Syarh al-Minhaj: “Dan sebagian dari bid’ah munkarah dan makruh
mengerjakannya, yaitu apa yang dilakukan orang dari berduka cita,
berkumpul dan 40 harian. Bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari
harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki
(tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya
atasnya, atau lain sebagainya.”
Begitu jelas ketidakjujuran yang mereka
lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui
website dan buku-buku mereka. Kalimat yang seharusnya dilanjutkan, di
potong oleh mereka. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya
dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal
kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/disengaja) demi
tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan,
seolah-olah tujuan mereka didukung oleh pendapat ulama, padahal hanya
didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatasnamakan ulama.
5. Kedustaan Kelima:
Kalimat yang mereka terjemahkan
sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, yang harus
dipahami secara keseluruhan. Berikut ini adalah kelanjutannya:
وقد قال
رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي
قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم
شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل
بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن
مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله
الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
Rasulullah Saw. bersabda kepada Bilal
bin Harits Ra.: “Wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari
sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti
(pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari
pahala mereka (orang yang mengamalkan). Dan barangsiapa yang
mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan RasulNya tidak
akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya
dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.”
Dan Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya
kebaikan itu memiliki khazanah-khazanah. Khazanah-khazanah itu ada
kunci-kuncinya (pembukanya). Maka berbahagialah bagi hamba yang telah
Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci
keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada
dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan.”
ولا شك أن
منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح
لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا
كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
“Dan tidak ada keraguan bahwa mencegah
manusia dari bid’ah munkarah ini, padanya termasuk menghidupkan sunnah,
mematikan bid’ah, membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci
banyak pintu keburukan. Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan
beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara
yang diharamkan.”
Jika hanya membaca sepintas nukilan dari
mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya
manusia dan makan hidangan di tempat keluarga mayyit adalah diharamkan
sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak jujur. Atau bahkan
ketidakjelasan mengenai bid’ah munkarah yang dimaksud, padahal pada
kalimat sebelumnya sudah dijelaskan dan status hukumnya adalah makruh.
Meskipun bisa mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan
beban yang banyak, yaitu jika (dibiayai) dari harta yang terlarang,
atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari
harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya. (Disarikan dari
mejlisrasulullah.org, generasisalaf.wordpress.com dan elhooda.net).
Oleh: Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 07 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar