Sejarah Walisongo bisa dibaca di buku “Atlas Wali Songo” Karangan Prof. Dr. Agus Sunyoto
Makam Sunan Bonang
Makam Sunan Gunung Jati
Makam Sunan Kalijaga
Makam Sunan Muria
Berbeda dengan biasanya, Ngaji
Suluk ngAllah Sabtu Kliwonan (26/4) kali ini diawali dengan tembang Ana
Kidung Rumeksa ing Wengi gubahan Sunan Kalijaga yang dikumandangkan DR
Riyanto Hangendali, MM, dosen FIA Universitas Brawijaya Malang, Setelah
menguraikan makna tembang itu, dengan mengutip beberapa pupuh tembang
dari Wedhatama, Riyanto Hangendali menguraikan sekilas perjalanan ruhani
yang digambarkan yang penuh dengan lambang-lambang dan pasemon yang
sangat rahasia yang hanya bisa difahami dengan kewaskitaan. Sunan
Kalijaga sebagai maestro kebudayaan Nusantara, ungkap Riyanto, telah
meninggalkan warisan peradaban dan kebudayaan yang adiluhung yang dewasa
ini justru dipelajari oleh orang-orang dari Negara lain.
Kisah Sunan Kalijaga sendiri, diketahui tersebar di sejumlah naskah yang menggambarkan kisah perjalanan ruhani Sunan Kalijaga dengan berbeda satu sama lain meski terdapat kemiripan dan kesamaan esensi. “Sedikitnya ada tiga naskah yang menuturkan perjalanan ruhani Sunan Kalijaga dalam bentuk cerita naratif,” papar K. Ng. H. Agus Sunyoto melengkapi penjelasan Riyanto.
Kisah pertama diriwayatkan dalam serat Nawaruci/Dewaruci, yang dimainkan lewat seni pertunjukan wayang purwa, di mana pengalaman ruhani Sunan Kalijaga digambarkan secara simbolik sebagai perjalanan tokoh Bima atau Werkudara mencari susuhing angin . Dalam bahasa Sansekerta Bhima memiliki arti kuat, sedangkan Werkudoro dari bahasa Sansekerta Wrekodara bermakna serigala. Panggilan serigala dilekatkan padanya oleh karena ia adalah insan yang kuat dan tangguh, mampu mengalahkan dua orang anak Dristarasta, yaitu Duryudana dan Dursasana. Bahkan usai membunuh Dursasana, Bhima meminum darahnya dengan lahap. Sangkuni pun dibunuh Bhima dengan cara dirobek mulutnya sampai rahang terbelah ke leher.
Dalam perjalanan mencari iar
pawitra sari, Bhima digambarkan melawan raksasa di hutan dan sewaktu
masuk ke lautan bertarung dengan seekor ular naga yang semuanya mampu
dikalahkan dengan kekuatannya sampai ia berada di tengah laut. Di
sinilah Bima bertemu dengan Dewaruci, di mana sosok Dewaruci sangat
mirip dengan Bima namun memiliki ukuran tubuh lebih kecil. “Masuklah ke
dalam diriku!” perintah Dewaruci kepada Bhima. Sontak Bima menyanggah,
“Bagaimana mungkin? Ukuran tubuhmu lebih kecil dibanding dengan tubuhku
yang kekar dan kuat.”
“Masuk saja tanpa memikirkan masuk akal dan tidaknya.”
Akhirnya masuklah Bima ke dalam diri Dewaruci melalui telinga kiri. Di sana ia takjub dengan pemandangan yang disaksikannya, bahwa ia tengah berada di lautan bebas tanpa batas. Di sana ia menyaksikan cahaya empat warna; hitam, kuning, merah dan putih. Dalam tafsir, warna hitam melambangkan nafsu Lwammah, di mana itu merupakan nafsu dalam diri manusia yang dipenuhi dengan keserakahan dan kerakusan,nafsu kepemilikan, sehingga bila perlu dunia digenggam sendiri menjadi miliknya. Warna kuning merupakan simbol nafsu Sufliyah; nafsu yang bersemayam dalam diri manusia, yang merupakan sumber sifat erotis dan syahwat manusia. Warna merah melambangkan nafsu Ammarah, nafsu yang membawa manusia pada api dendam, benci, iri, dengki dan sejenisnya. Warna putih melambangkan nafsu Muthma’innah, yaitu nafsu yang menghendaki ketentraman, kenikmatan dan kenyamanan. Tidak berhenti pada pemandangan atas empat warna, naik setingkat lebih tinggi, Bhima memasuki alam ruh yang membuatnya tak ingin kembali ke dunia. Namun oleh karena perintah Dewaruci, Bima kembali ke Amarta dan turut membantu saudara-saudaranya dalam perang Bharatayudha.
Kisah kedua, lanjut Agus
Sunyoto, disajikan dalam Suluk Syekh Malaya dan Serat Kandaning Ringgit
Purwa. Dalam versi ini, Sunan Kalijaga dikisahkan berguru kepada Syekh
Daraputih di Malaka di kampung Pulau Upih. Sunan Kalijaga diperintahkan
untuk mencari hidayah Allah Swt dengan melakukan ibadah haji. Maka
berangkatlah Sunan Kalijaga ke Mekah. Sesampainya di Negeri Pasai, Sunan
Kalijaga bertemu dengan Syekh Maulana Al-Maghribi. Ditanyalah ia,
“Wahai Sahid, sudah tahukah engkau hakikat dari perjalanan haji? Jika
engkau belum memahaminya, niscaya kamu hanya akan menemukan sebongkah
batu yang mana jika engkau menyembahnya, itu berarti engkau sama dengan
orang-orang musyrik.” Dari pertemuan itu, kembalilah Sunan Kalijaga ke
Malaka dengan membawa bekal amalan wirid dari Syekh Al-Maghribi yang
diamalkan untuk mencari Allah di dalam diri sendiri. Pandangan Syekh
Maulana Maghribi adalah khas pandangan sufisme, yaitu pandangan yang
berbeda dengan kebanyakan manusia yang meyakini Allah Swt hanya dari
“katanya ini, katanya itu, kata mereka, katanya guru” dan seterusnya.
Padahal Allah Swt lebih dekat dari urat leher manusia, yang itu berarti
hakikat Dia sejatinya Ada di dalam diri manusia itu sendiri. Sebuah
hadits Qudsi berbunyi, “Aku tidak bisa berada di bumi, tidak pula bisa
berada di langit, tapi aku bisa berada dalam hati hambaKu yang mukmin.”
Maka selama hati belum terbuka, akan menjadi kesulitan yang pasti bagi
manusia untuk mengenal Tuhannya.
Kisah ketiga perjalanan Sunan Kalijaga dihadirkan dalam naskah Suluk Linglung, di mana dalam suluk ini, Sunan Kalijaga digambarkan berguru kepada Sunan Bonang dan sebagaimana dikisahkan dalam Suluk Syekh Malaya, Sunan Kalijaga diperintah oleh Sunan Bonang melaksanakan ibadah haji untuk mencari hidayah Allah Swt. Di tengah perjalanan, ketika sampai di lautan yang luas, ia bertemu dengan seorang manusia yang berjalan di atas air. Manusia ini dikenal dengan nama Nabi Khidir. Lalu Khidir bertanya, “Hendak kemana engkau?” “Menunaikan Haji ke Mekah,” jawab Sunan Kalijaga singkat. “Apakah kamu sudah benar-benar memahami hakikat haji? Jika belum, engkau hanya akan bertemu dengan batu, tanpa tahu siapa pemiliknya,” lanjut Khidir sembari memerintahkan Sunan Kalijaga untuk masuk ke dalam dirinya. Maka masuklah ia melalui telinga kiri Khidir, di sana ia mendapati lautan luas tanpa batas, tetapi ia melihat cahaya empat warna yang merupakan simbol nafsu yang ada dalam diri manusia.
Dari tiga kisah di atas, dapat
dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat hakikat ruhani dari ruh suci
yang ditiupkan Allah saat penciptaan Adam. Ruh suci itulah yang
tersembunyi di dalam qalbu manusia. Setelah melewati keempat nafsu yang
digambarkan berwarna hitam-merah-kuning-putih, maka akan ketemu dengan
cahaya hijau simbol dari ruh idhofi, di mana ruh idhofi inilah yang
disebut dengan nama Khidir, Khodir, Dewaruci, Ruh Suci yang menjadi
selubung dari Ruh al-Haqq yang akan menjadi barzakh sekaligus
penghubung antara Yang Ilahi dengan alam ciptaan. Ruh Idhofi inilah yang
pemberi petunjuk jalan menuju Sang Pencipta, ruh yang disebut mursyid
sejati, ruh ilahi yang bersemayam dalam diri manusia yang telah Tuhan
tiupkan sebagaimana firmanNya dalam al-Qur'an surah Shod:
“Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; Maka hendaklah kamu sekalian bersujud kepadanya".
Maka hanya melalui ruh inilah manusia akan benar-benar sampai pada Tuhannya. Namun, untuk mencapai ruh idhofi bukan perkara yang mudah. Ungkap Agus Sunyoto memperingatkan, karena manusia masih harus melewati berlapis-lapis nafsu yang menyelubung diri. Akan banyak aral melintang menghalangi. Kita ambil contoh sahabat Nabi Saw, Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang sangat bijaksana dan waskita, setelah 13 tahun lamanya bersama Rasul Saw. Pada saat diajak hijrah, dikejar-kejar kaum Quraisy. Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur bersama Nabi Saw. Saat itu seorang pemuda Quraisy masuk dengan sebilah pedang di tangan. Menyaksikan itu Abu Bakar gemetar dan menangis sambil berucap, “Yang aku khawatirkan adalah keselamatanmu wahai Nabi Allah.” Melihat Abu Bakar ketakutan Nabi Saw yang beroleh wahyu berkata, innallaha ma’anaa, “Saat itulah, Abu Bakar menyaksikan Allah dalam makna araftu robbi birobbi, menyaksikan Allah dengan kuasa Allah dalam makna ma’rifat sehingga lenyaplah semua ciptaan yang tergelar di sekitar, yang Ada hanya Allah semata sebagai Yang Wujud. Saat itulah, Abu Bakar baru benar-benar mengenal Allah dalam makna yang sebenarnya. “Oleh karena itu jangan seperti orang yang sok sudah kenal Allah, baru belajar Islam 2-3 minggu sudah merasa dirinyalah yang paling benar lalu mengkafir-kafirkan yang lainnya. Sungguh, jalan menuju Allah membutuhkan jihad (perjuangan) yang luar biasa. Jika manusia bisa melampaui ujian-ujian dengan jihadnya, niscaya terbukalah jalan-jalan sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an;
“Dan orang-orang yang berjihad menuju Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”
“Semoga sepintas ngaji dengan menggali khazanah warisan Wali Songo ini dapat memberikan manfaat dan barokah kepada kita semua. Al Fatihah,” ujar Agus Sunyoto mengakhiri ngaji Suluk ngAllah.
Posted by Tina Siska Hardiansyah http://pesantrenbudaya.blogspot.com/2014/04/suluk-linglung-dan-perjalanan-ruhani.html
Suluk Linglung dan Perjalanan Ruhani Sunan Kalijaga
Sunday, 27 April 2014
Ular lambang Nafsu Lwammah |
Kisah Sunan Kalijaga sendiri, diketahui tersebar di sejumlah naskah yang menggambarkan kisah perjalanan ruhani Sunan Kalijaga dengan berbeda satu sama lain meski terdapat kemiripan dan kesamaan esensi. “Sedikitnya ada tiga naskah yang menuturkan perjalanan ruhani Sunan Kalijaga dalam bentuk cerita naratif,” papar K. Ng. H. Agus Sunyoto melengkapi penjelasan Riyanto.
Kisah pertama diriwayatkan dalam serat Nawaruci/Dewaruci, yang dimainkan lewat seni pertunjukan wayang purwa, di mana pengalaman ruhani Sunan Kalijaga digambarkan secara simbolik sebagai perjalanan tokoh Bima atau Werkudara mencari susuhing angin . Dalam bahasa Sansekerta Bhima memiliki arti kuat, sedangkan Werkudoro dari bahasa Sansekerta Wrekodara bermakna serigala. Panggilan serigala dilekatkan padanya oleh karena ia adalah insan yang kuat dan tangguh, mampu mengalahkan dua orang anak Dristarasta, yaitu Duryudana dan Dursasana. Bahkan usai membunuh Dursasana, Bhima meminum darahnya dengan lahap. Sangkuni pun dibunuh Bhima dengan cara dirobek mulutnya sampai rahang terbelah ke leher.
Raksasa Kembar Lambang Nafsu Ammarah |
“Masuk saja tanpa memikirkan masuk akal dan tidaknya.”
Akhirnya masuklah Bima ke dalam diri Dewaruci melalui telinga kiri. Di sana ia takjub dengan pemandangan yang disaksikannya, bahwa ia tengah berada di lautan bebas tanpa batas. Di sana ia menyaksikan cahaya empat warna; hitam, kuning, merah dan putih. Dalam tafsir, warna hitam melambangkan nafsu Lwammah, di mana itu merupakan nafsu dalam diri manusia yang dipenuhi dengan keserakahan dan kerakusan,nafsu kepemilikan, sehingga bila perlu dunia digenggam sendiri menjadi miliknya. Warna kuning merupakan simbol nafsu Sufliyah; nafsu yang bersemayam dalam diri manusia, yang merupakan sumber sifat erotis dan syahwat manusia. Warna merah melambangkan nafsu Ammarah, nafsu yang membawa manusia pada api dendam, benci, iri, dengki dan sejenisnya. Warna putih melambangkan nafsu Muthma’innah, yaitu nafsu yang menghendaki ketentraman, kenikmatan dan kenyamanan. Tidak berhenti pada pemandangan atas empat warna, naik setingkat lebih tinggi, Bhima memasuki alam ruh yang membuatnya tak ingin kembali ke dunia. Namun oleh karena perintah Dewaruci, Bima kembali ke Amarta dan turut membantu saudara-saudaranya dalam perang Bharatayudha.
Membelah dua gunung lambang Nafsu Sufliyah |
Kisah ketiga perjalanan Sunan Kalijaga dihadirkan dalam naskah Suluk Linglung, di mana dalam suluk ini, Sunan Kalijaga digambarkan berguru kepada Sunan Bonang dan sebagaimana dikisahkan dalam Suluk Syekh Malaya, Sunan Kalijaga diperintah oleh Sunan Bonang melaksanakan ibadah haji untuk mencari hidayah Allah Swt. Di tengah perjalanan, ketika sampai di lautan yang luas, ia bertemu dengan seorang manusia yang berjalan di atas air. Manusia ini dikenal dengan nama Nabi Khidir. Lalu Khidir bertanya, “Hendak kemana engkau?” “Menunaikan Haji ke Mekah,” jawab Sunan Kalijaga singkat. “Apakah kamu sudah benar-benar memahami hakikat haji? Jika belum, engkau hanya akan bertemu dengan batu, tanpa tahu siapa pemiliknya,” lanjut Khidir sembari memerintahkan Sunan Kalijaga untuk masuk ke dalam dirinya. Maka masuklah ia melalui telinga kiri Khidir, di sana ia mendapati lautan luas tanpa batas, tetapi ia melihat cahaya empat warna yang merupakan simbol nafsu yang ada dalam diri manusia.
Dewaruci Lambang Ruh Idhofi |
“Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; Maka hendaklah kamu sekalian bersujud kepadanya".
Maka hanya melalui ruh inilah manusia akan benar-benar sampai pada Tuhannya. Namun, untuk mencapai ruh idhofi bukan perkara yang mudah. Ungkap Agus Sunyoto memperingatkan, karena manusia masih harus melewati berlapis-lapis nafsu yang menyelubung diri. Akan banyak aral melintang menghalangi. Kita ambil contoh sahabat Nabi Saw, Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang sangat bijaksana dan waskita, setelah 13 tahun lamanya bersama Rasul Saw. Pada saat diajak hijrah, dikejar-kejar kaum Quraisy. Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur bersama Nabi Saw. Saat itu seorang pemuda Quraisy masuk dengan sebilah pedang di tangan. Menyaksikan itu Abu Bakar gemetar dan menangis sambil berucap, “Yang aku khawatirkan adalah keselamatanmu wahai Nabi Allah.” Melihat Abu Bakar ketakutan Nabi Saw yang beroleh wahyu berkata, innallaha ma’anaa, “Saat itulah, Abu Bakar menyaksikan Allah dalam makna araftu robbi birobbi, menyaksikan Allah dengan kuasa Allah dalam makna ma’rifat sehingga lenyaplah semua ciptaan yang tergelar di sekitar, yang Ada hanya Allah semata sebagai Yang Wujud. Saat itulah, Abu Bakar baru benar-benar mengenal Allah dalam makna yang sebenarnya. “Oleh karena itu jangan seperti orang yang sok sudah kenal Allah, baru belajar Islam 2-3 minggu sudah merasa dirinyalah yang paling benar lalu mengkafir-kafirkan yang lainnya. Sungguh, jalan menuju Allah membutuhkan jihad (perjuangan) yang luar biasa. Jika manusia bisa melampaui ujian-ujian dengan jihadnya, niscaya terbukalah jalan-jalan sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an;
“Dan orang-orang yang berjihad menuju Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”
“Semoga sepintas ngaji dengan menggali khazanah warisan Wali Songo ini dapat memberikan manfaat dan barokah kepada kita semua. Al Fatihah,” ujar Agus Sunyoto mengakhiri ngaji Suluk ngAllah.
Posted by Tina Siska Hardiansyah http://pesantrenbudaya.blogspot.com/2014/04/suluk-linglung-dan-perjalanan-ruhani.html