Abunawas - Sang Penggeli Hati
MB. Rahimsyah
Kata
Pengantar
Nama Abu
Nawas begitu populernya sehingga cerita-cerita yang mengandung
humor
banyak yang dinisbatkan berasal dari Abu Nawas.
Tokoh
semacam Abu Nawas yang mampu mengatasi berbagai persoalan rumit
dengan
style humor atau bahkan humor politis temyata juga tidak hanya ada di
negeri
Baghdad. Kita mengenal Syekh Juha yang hampir sama piawainya dengan
Abu Nawas
juga Nasaruddin Hoja sang sufi yang lucu namun cerdas. Kita juga
mengenal
Kabayari di Jawa Barat yang konyol namun temyata juga cerdas.
Abu Nawas!
Setelah mati pun masih bisa membuat orang tertawa. Di depan
makamnya
ada pintu gerbang yang terkunci dengan gembok besar sekali.
Namun di
kanan kiri pintu gerbang itu pagarnya bolong sehingga orang bisa
leluasa
masuk untuk berziarah ke makamnya. Apa maksudnya dia berbuat
demikian.
Mungkin itu adalah simbol watak Abu Nawas yang sepertinya tertutup
misteri
pada diri Abu Nawas, ia
sepertinya
bukan orang biasa, bahkan ada yang meyakini bahwa dari
kesederhanaannya
ia adalah seorang guru sufi namun ia tetap dekat dengan
rakyat
jelata bahkan konsis membela mereka yang lemah dan tertindas.
Begitu
banyak cerita lain yang diadopsi menjadi Kisah Abu Nawas sehingga
kadang-kadang
cerita tersebut nggak masuk akal bahkan terlalu menyakitkan
orang
timur, saya curiga jangan-jangan cerita-cerita Abu Nawas yang sangat
aneh itu
sengaja diciptakan oleh kaum orientalis untuk menjelek-jelekkan
masyarakat
Islam. Karena itu membaca cerita Abu Nawas kita harus kritis dan
waspada.
Daftar Isi
1. Pesan
Bagi Para Hakim
2. Abu Nawas Mendemo Tuan Kadi
3. Membalas Perbuatan Raja
4. Mengecoh Raja
5. Debat Kusir Tentang Ayam
6. Mengecoh Monyet Sirkus
7. Pekerjaan Yang Mustahil
8. Botol Ajaib
9. Ibu Sejati
10. Hadiah
Bagi Tebakan Jitu
11. Pintu
Akhirat
12. Tetap
Bisa Cari Solusi
13. Menipu
Tuhan
14. Raja
Dijadikan Budak
15. Abu
Nawas Mati
16.
Taruhan Yang Berbahaya
17.
Ketenangan Hati
18.
Manusia Bertelur
19.
Peringatan Aneh
20. Asmara
Memang Aneh
21. Cara
Memilih Jalan
22.
Strategi Maling
23.
Menjebak Pencuri
24. Tipu
dibalas Tipu
25. Tugas
Yang Mustahil
26.
Orang-orang Kanibal
27. Lolos
Dari Maut
Pesan Bagi Para Hakim
Siapakah
Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama
besar ini—
sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia
yang
dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di
Baghdad.
Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar
bahasa
Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir.
Karena
pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran
orang
Arab", la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat
pulang ke
negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya
menghambakan
diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
Mari kita
mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu
Kerajaan
Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang
sudah tua
itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.
Abu Nawas
dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur
jenazah
bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan
Abu Nawas
hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara
memandikan
jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka
Sultan
bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu
menggantikan
kedudukan bapaknya.
Namun...
demi mendengar rencana sang Sultan.
Tiba-tiba
saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi
gila.
Usai
upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong
batang
pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari ba-
tang
pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya.
Orang yang
melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.
Pada hari
yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup
banyak
untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia
mengajak
anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.
Kini semua
orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka
menganggap
Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh
bapaknya.
Pada suatu
hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang
menemui
Abu Nawas.
"Hai
Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir
utusan
Sultan.
"Buat
apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu
Nawas
dengan entengnya seperti tanpa beban.
"Hai
Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."
"Hai
wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan
di sungai
supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan
sebatang
pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir
hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.
"Abu
Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir
"Katakan
kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu
Nawas.
"Apa
maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.
"Sudah
pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu." sergah Abu Nawas
sembari
menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir
segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan
keadaan
Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.
Dengan
geram Sultan berkata,"Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu
Nawas
kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia
kemari
dengan suka rela ataupun terpaksa."
Si wazir
segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu
Nawas di
hadirkan di hadapan raja.
Namun
lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya
ugal-ugalan
tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.
"Abu
Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.
"Ya
Baginda, tahukah Anda....?"
"Apa
Abu Nawas...?"
"Baginda...
terasi itu asalnya dari udang !"
"Kurang
ajar kau menghinaku Nawas !"
"Tidak
Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"
Baginda
merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada
para
pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"
Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu
akhirnya lemas tak berdaya dipukuli
tentara
yang bertubuh kekar.
Usai
dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang
kota, ia
dicegat oleh penjaga.
"Hai
Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah
mengadakan
perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi
hadiah
oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian,
aku satu
bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"
"Hai
penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah
Baginda
yang diberikan kepada tadi?"
"lya,
tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"
"Baik,
aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"
"Wan
ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan
sudah
sering menerima hadiah dari Baginda."
Tanpa
banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar
lalu orang
itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu
menjerit-jerit
kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah
penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu
saja, ia
terus melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara
itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan
Harun Al
Rasyid.
"Ya,
Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari
mengadukan
Abu Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima
kali tanpa
suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."
Baginda
segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah
Abu Nawas
berada di hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau
telah
memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali
pukulan?"
Berkata
Abu Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah
sepatutnya
dia menerima pukulan itu."
"Apa
maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang
itu?"
tanya Baginda.
"Tuanku,"kata
Abu Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah
mengadakan
perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka
hadiah
tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya.
Nah pagi
tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya
berikan
pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."
"Hai
penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian
seperti
itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Benar
Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.
"Tapi hamba tiada mengira jika Baginda
memberikan hadiah pukulan."
"Hahahahaha IDasar tukang peras, sekarang kena
batunya kau!"sahut
Baginda."Abu
Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga
pintu
gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras
orang!
Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan
memecat
dan menghukum kamu!"
"Ampun Tuanku,"sahut penjaga pintu
gerbang dengan gemetar.
Abu Nawas
berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba
diwajibkan
hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon
ganti
rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan
Tuanku.
Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."
Sejenak
Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia
tertawa
terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."
Baginda
kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong
uang perak
kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.
Tetapi
sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan
semakin
nyentrik seperti orang gila sungguhan.
Pada suatu
hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para
menterinya.
"Apa
pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai
kadi?"
Wazir atau
perdana meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang
semakin
parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja
menjadi
kadi."
Menteri-menteri
yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.
"Tuanku,
Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."
"Baiklah,
kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru
saja mati.
Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain
saja."
Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih
dianggap gila, maka Sultan Harun Al
Rasyid
mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
Konon
dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak
lama
berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda
untuk
menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan
dirinya
menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda
menyetujuinya.
Begitu
mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan
syukur
kepada Tuhan.
"Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang
mengerikan.
Tapi.,..sayang
sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang
lain
saja."
Mengapa
Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:
Pada suatu
hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia
panggii
Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati
bapaknya
yang sudah lemah lunglai.
Berkata
bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah
telinga
kanan dan telinga kiriku."
Abu Nawas
segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga
kanan
bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau
sangat
busuk.
"Bagamaina
anakku? Sudah kau cium?"
"Benar
Bapak!"
"Ceritakankan
dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku int."
"Aduh
Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau
harum
sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"
"Hai
anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"
"Wahai
bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."
Berkata
Syeikh Maulana "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan
masalahnya
kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang
seorang lagi
karena aku tak suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah
resiko
menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan
mengalami
hai yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka
buatlah
alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan
Harun Al
Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap
memilihmu
sebagai Kadi."
Nan,
itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk
menghindarkan
diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau
penghulu
pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu
perkara.
Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak
konsultasi
oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali
dipaksa
datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda
Raja yang
aneh-aneh dan tidak masuk akal.
oo000oo
Abu Nawas Mendemo Tuan Kadi
Pada suatu
sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya. Ada dua
orang tamu
datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual
kahwa,
sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.
Wanita tua
itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si
pemuda
Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh
murid-muridnya
menutup kitab mereka.
"Sekarang
pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada
malam hari
ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta
batu."
Murid-murid
Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu
Nawas. Dan
mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan
berddfa di
pihak yang benar.
Pada malam
harimya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa
peralatan
yang diminta oleh Abu Nawas.
Berkata
Abu Nawas,"Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak
Tuan Kadi
yang baru jadi."
"Hah?
Merusak rumah Tuan Kadi?" gumam semua muridnya keheranan.
"Apa?
Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!" kata Abu
Nawas
menghapus keraguan murid-muridnya. Barangsiapa yang mencegahmu,
jangan kau
perdulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa
yang
bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barangsiapa yang
hendak
melempar kalian, maka pukullah mereka dan iemparilah dengan batu."
Habis
berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi.
Laksana
demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi.
Orang-orang
kampung merasa heran melihat kelakukan mereka. Lebih-lebih
ketikatanpa
basa-basi lagi mereka iangsung merusak rumah Tua Kadi. Orang-or-
ang kampung
itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah
murid-murid
Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani
mencegah.
Melihat
banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan
bertanya,"Siapa
yang menyuruh kalian merusak rumahku?"
Murid-murid
itu menjawab,"Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami!"
Habis
menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan
rumah Tuan
Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.
Tuan Kadi
hanya bisa marah-marah karena tidak orang yang berani membelanya
"Dasar
Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya
kepada
Baginda."
Benar,
esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu
Nawas
dipanggil menghadap Baginda.
Setelah
Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya. "Hai Abu Nawas apa
sebabnya
kau merusak rumah Kadi itu"
Abu Nawas
menjawab,"Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada sliatu malam
hamba
bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya.
Sebab
rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus
lagi.Ya,
karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi."
Baginda
berkata," Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah
perintah
dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?"
Dengan
tenang Abu Nawas menjawab,"Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi
yang baru
ini Tuanku."
Mendengar
perkataan Abu Nawas seketika wajah Tuan Kadi menjadi pucat. la
terdiam
seribu bahasa.
"Hai
Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?" tanya Baginda.
Tapi Tuan
Kadi tiada menjawab, wajahnya nampak pucat, tubuhnya gemetaran
karena
takut.
"Abu
Nawas! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti
ini
!" perintah Baginda.
"Baiklah
...... "Abu Nawas tetap tenang. "Baginda.... beberapa hari yang lalu
ada seorang
pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang
sambil
membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi
kawin
dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. Ini
hanya
mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung
mendatangi
si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda
Mesir itu
tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, di sinilah
terlihat
arogansi Tuan Kadi, ia ternyata merampas semua harta benda milik
pemuda
Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan
akhirnya
ditolong oleh wanita tua penjual kahwa."
Baginda
terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya
seratus
persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda
Mesir.
Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di
depan
istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke
hadapan
Baginda.
Berkata
Baginda Raja,"Hai anak Mesir ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak
engkau
datang ke negeri ini."
Ternyata
cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan
pemuda itu
juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia
menginap.
"Kurang
ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad
moralnya."
Baginda
sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya
dirampas
dan diberikan kepada si pemuda Mesir.
Setelah
perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas
pulang ke
rumahnya. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.
Berkata
Abu Nawas,"Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun
kepadaku.
Aku tidak akan menerimanya sedikitpun jua."
Pemuda
Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke
negeri
Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada
penduduk
Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.
oo000oo
Membalas Perbuatan Raja
Abu Nawas
hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi
beberapa
pekerja kerajaan atas titan langsung Baginda Raja membongkar
rumah dan
terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda
bermimpi
bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata
yang tak
ternilai harganya. Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata
emas dan
permata itu tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf
kepada Abu
Nawas. Apabila mengganti kerugian. inilah yang membuat Abu
Nawas
memendam dendam.
Lama Abu
Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat
untuk
membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak
dimakan
karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas
tetap
tidak beranjak. Keesokan hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai
menyerbu
makanan Abu Nawas yang sudah basi. la tiba-tiba tertawa riang.
"Tolong
ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi." Abu
Nawas
berkata kepada istrinya.
"Untuk
apa?" tanya istrinya heran.
"Membalas
Baginda Raja." kata Abu Nawas singkat. Dengan muka berseri-seri
Abu Nawas
berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk
hormat dan
berkata,
"Ampun
Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan
perlakuan
tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba
tanpa ijin
dari hamba dan berani memakan makanan hamba."
"Siapakah
tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" sergap
Baginda
kasar.
"Lalat-lalat
ini, Tuanku." kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya.
"Kepada
siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba me-
ngadukan
perlakuan yang tidak adil ini."
"Lalu
keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?"
"Hamba
hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa
dengan
leluasa menghukum lalat-lalat itu." Baginda Raja tidak bisa
mengelakkan
diri menotak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para
menteri
sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat
surat ijin
yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di
manapun
mereka hinggap.
Tanpa
menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya
hingga
mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang
sudah
sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan
memukuli
lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca.
Abu Nawas
dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas
bunga yang
indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana
dan
perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas
tidak
merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda
Raja.
Baginda
Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang
telah
dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa
puas, Abu
Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang
hancur.
Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia
sadar
betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas
yang
nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah
menjadi
garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang
yang
mengusiknya.
Abu Nawas
pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di
rumah
untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.
oo000oo
Mengecoh Raja
Sejak
peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang
dilegalisir oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda
ingin menangkap Abu
Nawas
untuk dijebloskan ke penjara.
Sudah
menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah
Baginda,
maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda tahu
Abu Nawas
amat takut kepada beruang. Suatu hari Baginda memerintahkan
prajuritnya
menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan rombongan Baginda
Raja Harun
Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa takut dan gemetar
tetapi ia
tidak berani menolak perintah Baginda.
Dalam
perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah
menjadi
mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat
Abu Nawas
mendekati Baginda.
"Tahukah
mengapa engkau aku panggil?" tanya Baginda tanpa sedikit pun
senyum di
wajahnya.
"Ampun
Tuanku, hamba belum tahu." kata Abu Nawas.
"Kau
pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Hutan masih jauh dari
sini. Kau
kuberi kuda yang lamban. Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku
akan
menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita
berkumpul
di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus
menghindarinya
dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap kering.
Sekarang
kita berpencar." Baginda menjelaskan.
Kemudian
Baginda dan rombongan mulai bergerak. Abu Nawas kini tahu
Baginda
akan menjebaknya. la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas
sedang
berpikir, tiba-tiba hujan turun.
Begitu
hujan turun Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk
mencapai
tempat perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan,
Baginda
dan para pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda
segera
menuju tempat peristirahatan. Belum sempat baju Baginda dan para
pengawalnya
kering, Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban.
Baginda
dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah.
Padahal
dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat
berlindung
yang paling dekat.
Pada hari
kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi
Baginda
Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai kuda-
kuda yang
lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar,
hujan pun
turun seperti kemarin. Malah hujan hari ini lebih deras daripada
kemarin.
Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena kuda yang
ditunggangi
tidak bisa berlari dengan kencang.
Ketika
saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih
dahulu
dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja.
Selang
beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian yang
basah
kuyup. Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap kering Baginda jadi
penasaran.
Beliau tidak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini
disembunyikan.
"Terus
terang begaimana caranya menghindari hujan, wahai Abu Nawas." tanya
Baginda.
"Mudah
Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas sambil tersenyum.
"Sedangkan
aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat
berteduh
terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini." kata Baginda.
"Hamba
sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun
hamba
secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu
mendudukinya.
Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti." Diam-diam Baginda
Raja
mengakui kecerdikan Abu Nawas.
oo000oo
Debat Kusir Tentang Ayam
Melihat
ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil
pengawal
agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan
sayembara
untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi
memerlukan
jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa
menjawab
pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan.
Satu pundi
penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman
yang
menjadi akibatnya.
Banyak
rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang
miskin.
Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya
hukuman
yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya
empat
orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu
Nawas.
Aturan
main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal.
Kedua,
peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.
Pada hari
yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung.
Baginda
duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta
pertama
maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya,
"Manakah
yang lebih dahulu, telur atau ayam?" "Telur." jawab peserta
pertama.
"Apa
alasannya?" tanya Baginda.
"Bila
ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." kata
peserta
pertama menjelaskan.
"Kalau
begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda. .
Peserta
pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas.
la tidak
bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara.
Kemudian
peserta kedua maju. la berkata,
"Paduka
yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang
bersamaan."
"Bagaimana
bisa bersamaan?" tanya Baginda.
"Bila
ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila
teiur
lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa
dierami."
kata peserta kedua dengan mantap.
"Bukankah
ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda
memojokkan.
Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.
Lalu
giliran peserta ketiga. la berkata;
"Tuanku
yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur."
"Sebutkan
alasanmu." kata Baginda.
"Menurut
hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta
ketiga
meyakinkan.
"Lalu
bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan
ayam
jantan tidak ada." kata Baginda memancing.
"Ayam
betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu
menetas
dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan
dewasa dan
mengawini induknya sendiri." peserta ketiga berusaha
menjelaskan.
"Bagaimana
bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa
sempat
mengawininya?"
Peserta
ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan
ke
penjara.
Kini tiba
giliran Abu Nawas. la berkata, "Yang pasti adalah telur dulu, baru
ayam."
"Coba
terangkan secara logis." kata Baginda ingin tahu "Ayam bisa mengenal
telur,
sebaliknya telur tidak mengenal ayam." kata Abu Nawas singkat.
Agak lama
Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah alasan Abu
Nawas.
oo000oo
Mengecoh Monyet
Abu Nawas
sedang berjalan-jalan santai. Ada kerumunan masa. Abu Nawas
bertanya
kepada seorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengah jalan.
"Ada
kerumunan apa di sana?" tanya Abu Nawas.
"Pertunjukkan
keliling yang melibatkan monyet ajaib."
"Apa
maksudmu dengan monyet ajaib?" kata Abu Nawas ingin tahu.
"Monyet
yang bisa mengerti bahasa manusia, dan yang lebih menakjubkan
adalah
monyet itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja." kata kawan Abu
Nawas
menambahkan.
Abu Nawas
makin tertarik. la tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan
keajaiban
binatang raksasa itu.
Kini Abu
Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton. Karena
begitu
banyak penonton yang menyaksikan pertunjukkan itu, sang pemilik
monyet
dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja
yang
sanggup membuat monyet itu mengangguk-angguk.
Tidak
heran bila banyak diantara para penonton mencoba maju satu persatu.
Mereka
berupaya dengan beragam cara untuk membuat monyet itu
mengangguk-angguk,
tetapi sia-sia. Monyet itu tetap menggeleng-gelengkan
kepala.
Melihat
kegigihan monyet itu Abu Nawas semakin penasaran. Hingga ia maju
untuk
mencoba. Setelah berhadapan dengan binatang
itu Abu Nawas bertanya,
"Tahukah
engkau siapa aku?" Monyet itu menggeleng.
"Apakah
engkau tidak takut kepadaku?" tanya Abu Nawas lagi. Namun monyet
itu tetap
menggeleng.
"Apakah
engkau takut kepada tuanmu?" tanya Abu Nawas memancing. Monyet
itu mulai
ragu.
"Bila
engkau tetap diam maka akan aku laporkan kepada tuanmu." lanjut Abu
Nawas
mulai mengancam. Akhirnya monyet itu terpaksa mengangguk-angguk.
Atas
keberhasilan Abu Nawas membuat monyet itu mengangguk-angguk maka ia
mendapat
hadiah berupa uang yang banyak. Bukan main marah pemilik monyet
itu hingga
ia memukuli binatang yang malang itu. Pemilik monyet itu malu
bukan
kepalang. Hari berikutnya ia ingin menebus kekalahannya. Kali ini ia
melatih
monyetnya mengangguk-angguk.
Bahkan ia
mengancam akan menghukum berat monyetnya bila sampai bisa
dipancing
penonton mengangguk-angguk terutama oleh Abu Nawas. Tak peduli
apapun
pertanyaan yang diajukan.
Saat-saat
yang dinantikan tiba. Kini para penonton yang ingin mencoba, harus
sanggup
membuat monyet itu menggeleng-gelengkan kepala. Maka seperti hari
sebelumnya,
banyak para penonton tidak sanggup memaksa monyet itu
menggeleng-gelengkan
kepala. Setelah tidak ada lagi yang ingin mencobanya,
Abu Nawas
maju. la mengulang pertanyaan yang sama.
"Tahukah
engkau siapa daku?" Monyet itu mengangguk.
"Apakah
engkau tidak takut kepadaku?" Monyet itu tetap mengangguk.
"Apakah
engkau tidak takut kepada tuanmu?" pancing Abu Nawas. Monyet itu
tetap
mengangguk karena binatang itu lebih takut terhadap ancaman tuannya
daripada
Abu Nawas.
Akhirnya
Abu Nawas mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam panas.
"Tahukah
engkau apa guna balsam ini?" Monyet itu tetap mengangguk .
"Baiklah,
bolehkah kugosokselangkangmu dengan balsam?" Monyet itu
mengangguk.
Lalu Abu
Nawas menggosok selangkang binatang itu. Tentu saja monyet itu
merasa
agak kepanasan dan mulai-panik.
Kemudian
Abu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar. Bungkusan
itu juga
berisi balsam.
"Maukah
engkau bila balsam ini kuhabiskan untuk menggosok selangkangmu?"
Abu Nawas
mulai mengancam. Monyet itu mulai ketakutan. Dan rupanya ia lupa
ancaman
tuannya sehingga ia terpaksa menggeleng-gelengkan kepala sambil
mundur
beberapa langkah.
Abu Nawas
dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan
sayembara
meruntuhkan kegigihan monyet yang dianggap cerdik.
Ah,
jangankan seekor monyet, manusia paling pandai saja bisa dikecoh Abu
Nawas!
oo000oo
Pekerjaan Yang Mustahil
Baginda
baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang
mampu
memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat
istananya.
Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk
melakukan
hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas
gunung
agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan
bukankah
hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang
amat
cerdik di negerinya.
Abu Nawas
segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.
Setelah
Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda,
"Sanggupkah
engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih
leluasa
melihat negeriku?" tanya Baginda.
Abu Nawas
tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga keningnya
berkerut.
Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin
dihukum.
Akhirnya
Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi
permintaan
dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu
sebulan.
Abu Nawas
pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman
dengan
rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan.
Tak ada
hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari
ini.Tetapi
pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Keesokan
harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda untuk
membahas
pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan
mendengarkan,
apa yang diinginkan Abu Nawas.
"Ampun
Tuariku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk
memperlancar
pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.
"Apa
usul itu?"
"Hamba
akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul
Qurban
yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Kalau
hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu
lagi Baginda..... " Abu Nawas menambahkan.
"Apa
lagi?" tanya Baginda.
"Hamba
mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk
dibagikan
langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu
kuterima." kata Baginda menyetujui.Abu Nawas pulang dengan
perasaan
riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti
bila
waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana
Baginda Raja.
Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar
samudera
pun Abu Nawas sanggup.
Desas-desus
mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang
harap-harap
cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas
kemampuan
Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal
melaksanakan
tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun
ada
beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini.
Saat-saat
yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju
lapangan
untuk melakukan salat Hari Raya Idul Qurban. Dan seusai salat,
sepuluh
sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemu
saling
memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.
"Sebelum
saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia
mengalah
dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?"
"Tidak,
bayi itu adalah anakku." kata kedua perempuan itu serentak.
"Baiklah, kalau kalian memang
sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu
dan tidak
ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu
menjadi
dua sama rata." kata Abu Nawas mengancam.
Perempuan
pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua
menjerit-jerit
histeris.
"Jangan,
tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya
diserahkan
kepada perempuan itu." kata perempuan kedua. Abu Nawas
tersenyum
lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera
mengambil
bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.
Abu Nawas
minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan
perbuatannya.
Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih.
Apalagi di
depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu
Nawas. Dan
.sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi
penasehat
hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi
rakyat
biasa.
oo000oo
Hadiah Bagi Tebakan Jitu
Baginda
Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada
yang
sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para
penasihat
kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang
memuaskan
Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang
sebenarnya.
Mungkin
karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar
Abu Nawas
saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu.
Tidak
begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhir-
akhir ini
ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua
rahasia
alam.
"Tuanku
yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka
maksudkan?"
tanya Abu Nawas ingin tahu.
"Aku
memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama
ini
menggoda pikiranku." kata Baginda.
"Bolehkah
hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan
hamba."
"Yang
pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?"
tanya
Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang
mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit
pun
perasaan ragu, "Tuanku yang mulia," lanjut Abu Nawas 'ketidakterbatasan
itu ada
karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh
Tuhan di
dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana
batas
jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur
sesuatu
yang tidak terbatas."
Baginda
mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu
Nawas yang
masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
"Wahai
Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di
langit
ataukah ikan-ikan di laut?"
"Ikan-ikan
di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.
"Bagaimana
kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah
menghitung
jumlah mereka?" tanya Baginda heran.
"Paduka
yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari
ditangkapi
dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak
seolah-olah
tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara
bintang-bintang
itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." jawab
Abu Nawas
meyakinkan.
Seketika
itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak
berbekas.
Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan
istrinya
uang yang cukup banyak.
Tidak
seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat
biasa. Beliau
ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan
siapa pun
agar lebih leluasa bergerak.
Baginda
mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya
seperti
rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang
berkumpul.
Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang
menyampaikan
kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang
dan
bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami
menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya,
tetapi
kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat
penyiksaan-penyiksaan
yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara
membenarkan
sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu
berpikir
sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk
mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain.
Ingatkah
kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi
dalam
tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan
takut
ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la
merasakan
hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang
duduk di
dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa.
Padahal
apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika
masalah
mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya,
mungkinkah
engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"
Baginda
Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut
mendengarkan
kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam
akhirat.
Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk
benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat
luar biasa
indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga
karena
barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu
mahkota
jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau
pulang
kembali ke istana.
Baginda
sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas
dipanggil:
Setelah menghadap Bagiri
"Aku
menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian
bawakan
aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu.
Apakah
engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup
Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas
yang
mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu
sarat yang
akan hamba ajukan."
"Sebutkan
sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba
mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu
apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu
Nawas.
"Apa
itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat,
wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu
alam dunia
adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian.
Dan pintu
alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila
Baginda
masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di
surga,
maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."
Mendengar
penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di
sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya
lagi,
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota
dari surga?" Baginda Raja tidak
menjawab.
Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon
diri
karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.
oo000oo
Pintu Akhirat
Tidak
seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat
biasa.
Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan
siapa pun
agar lebih leluasa bergerak.
Baginda
mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya
seperti
rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang
berkumpul.
Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang
menyampaikan
kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang
dan
bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
"Kami
menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya,
tetapi
kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat
penyiksaan-penyiksaan
yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara
membenarkan
sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu
berpikir
sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk
mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain.
Ingatkah
kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi
dalam
tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan
takut
ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la
merasakan
hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang
duduk di
dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa.
Padahal
apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika
masalah
mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya,
mungkinkah
engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"
Baginda
Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut
mendengarkan
kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam
akhirat.
Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk
benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat
luar biasa
indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga
karena
barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu
mahkota
jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau
pulang
kembali ke istana.
Baginda
sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas
dipanggil:
Setelah menghadap Bagiri
"Aku
menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian
bawakan
aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu.
Apakah
engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup
Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas
yang
mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu
sarat yang
akan hamba ajukan."
"Sebutkan
syarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba
morion Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu
apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu
Nawas.
"Apa
itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat,
wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu.
Pintu alam
dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah
kematian.
Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat.
Bila
Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota
di surga,
maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."
Mendengar
penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di
sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya
lagi,
"Masihkah
Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak
menjawab.
Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon
diri
karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.
oo000oo
Tetap Bisa Cari Solusi
Mimpi
buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam
menyebabkan
Abu Nawas diusir dari negeri Baghdad. Abu Nawas tidak berdaya.
Bagaimana
pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negeri Baghdad hanya
karena
mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga
Abu Nawas.
"Tadi
malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. la
mengenakan
jubah putih. la berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana
bila orang
yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. la harus
diusir
dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. ia boleh kembali ke
negerinya
dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak,
melompat-lompat
dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang
lain."
Dengan
bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah
dan
istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan
deraian
air mata.
Sudah dua
hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang
dibawanya
mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya
dengan
kesedihan yang terlalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa
bertambah
yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menotong
keluar
dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang
teman pun
yang lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?
Setelah
beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa
rindu yang
menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin
lama makin
menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung.
Memang,
tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan
akal
apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati.
Apakah aku
akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari
negeri ini
sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang
sanggup
melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa
melibatkan
orang lain.
Pada hari
kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak
termasuk
larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya
dipersiapkan,
Abu Nawas berangkat menuju ke negerinya sendiri. Perasaan
rindu dan
senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini
melecut-lecut
semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat
dengan
kampung halaman.
Mengetahui
Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desas-
desus
tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak
bunga yang
menyerbu hidung.
Kabar
kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid.
Baginda
juga merasa gembi mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang
sama
sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali,
karena
mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu
Nawas
pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas
tidak akan
bisa mengelak dari hukuman.
Namun
Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas
pulang ke
negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau
Abu Nawas
ternyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas
terlepas
dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa
dikatakan
teiah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak
mengendarai
keledai.
oo000oo
Menipu Tuhan
Abu Nawas
sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu
mengherankan
jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit.
Diantara
sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu
menanyakan
mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika
ada tiga
orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang
sama.
Orang pertama mulai bertanya,
"Manakah
yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau
orang yang
mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang
yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?"
kata orang pertama.
"Sebab
lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang
pertama puas karena ia memang yakin begitu.
Orang
kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih
utama,
orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan
dosa-dosa
kecil?"
"Orang
yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?"
kata orang kedua.
"Dengan
tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan
dari
Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban
Abu Nawas.
Orang
ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang iebih
utama,
orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan
dosa-dosa
kecil?"
"Orang
yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?"
kata orang ketiga.
"Sebab
pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa
hamba
itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas.
Kemudian
ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
Karena
belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa
dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang
berbeda?"
"Manusia
dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan
hati."
"Apakah
tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat
bintang di
langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya
menggunakan
mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.
"Apakah
tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang
melihat
bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia
"Pasti
kau akan dihukum berat."
"Gawat,
aku akan mengerahkan ilmu yang kusimpan,"
Abu Nawas
masuk ke dalam, ia mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat dua
rakaat.
Lalu berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda
datang.
Tidak
berapa alama kemudian tetangga Abu Nawas geger, karena istri Abu
Nawas
menjerit-jerit.
"Ada
apa?" tanya tetangga Abu Nawas sambil tergopoh-gopoh.
"Huuuuuu
.... suamiku mati....!"
"Hah!
Abu Nawas mati?"
"lyaaaa....!"
Kini kabar
kematian Abu Nawas tersebar ke seluruh pelosok negeri. Baginda
terkejut.
Kemarahan dan kegeraman beliau agak susut mengingat Abu Nawas
adalah
orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.
Baginda
Raja beserta beberapa pengawai beserta seorang tabib (dokter) istana,
segera
menuju rumah Abu Nawas. Tabib segera memeriksa Abu Nawas. Sesaat
kemudian
ia memberi laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas memang telah
mati
beberapa jam yang lalu.
Setelah
melihat sendiri tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda
Raja
marasa terharu dan meneteskan air mata. Beliau bertanya kepada istri
Abu Nawas.
"Adakah
pesan terakhir Abu Nawas untukku?"
"Ada
Paduka yang mulia." kata istri Abu Nawas sambil menangis.
"Katakanlah."
kata Baginda Raja.
"Suami
hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni
semua
kesalahannya dunia akhirat di depan rakyat." kata istri Abu Nawas
terbata-bata.
"Baiklah
kalau itu permintaan Abu Nawas." kata Baginda Raja menyanggupi.
Jenazah
Abu Nawas diusung di atas keranda. Kemudian Baginda Raja
mengumpulkan
rakyatnya di tanah lapang.
Beliau
berkata, "Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini aku, Sultan
Harun Al
Rasyid telah memaafkan segala kesalahan Abu Nawas yang telah
diperbuat
terhadap diriku dari dunia hingga akhirat. Dan kalianlah sebagai
saksinya."
Tiba-tiba
dari dalam keranda yang terbungkus kain hijau terdengar suara keras,
"Syukuuuuuuuur
...... !"
Seketika
pengusung jenazah ketakukan, apalagi melihat Abu Nawas bangkit
berdiri
seperti mayat hidup. Seketika rakyat yang berkumpul lari tunggang
langgang,
bertubrukan dan banyak yang jatuh terkilir. Abu Nawas sendiri segera
berjalan
ke hadapan Baginda. Pakaiannya yang putih-putih bikin Baginda keder
juga.
"Kau...
kau.... sebenarnya mayat hidup atau memang kau hidup lagi?" tanya
Baginda
dengan gemetar.
"Hamba
masih hidup Tuanku. Hamba mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga
atas pengampunan Tuanku."
"Jadi
kau masih hidup?"
"Ya,
Baginda. Segar bugar, buktinya kini hamba merasa lapar dan ingin segera
pulang."
"Kurang
ajar! Ilmu apa yang kau pakai Abu Nawas?
"Ilmu
dari mahaguru sufi guru hamba yang sudah meninggal dunia..."
"Ajarkan
ilmu itu kepadaku..."
"Tidak
mungkin Baginda. Hanya guru hamba yang mampu melakukannya.
Hamba
tidak bisa mengajarkannya sendiri."
"Dasar
pelit !" Baginda menggerutu kecewa.
oo000oo
Taruhan Yang Berbahaya
Pada suatu
sore ketika Abu Nawas ke warung teh kawan-kawannya sudah
berada di
situ. Mereka memang sengaja sedang menunggu Abu Nawas.
"Nah
ini Abu Nawas datang." kata salah seorang dari mereka.
"Ada
apa?" kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.
"Kami
tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap yang
dirancang
Baginda Raja Harun Al Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti
dihukum
Baginda Raja bila engkau berani melakukannya." kawan-kawan Abu
Nawas
membuka percakapan.
"Apa
yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti
kecuali
kepada Allah Swt." kata Abu Nawas menentang.
"Selama
ini belum pernah ada seorang pun di negeri ini yang berani memantati
Baginda
Raja Harun Al Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?" tanya kawan
Abu Nawas.
"Tentu
saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah
pelecehan
yang amat berat hukumannya pasti dipancung." kata Abu Nawas
memberitahu.
"Itulah
yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?"
"Sudah
kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah Swt. saja. Sekarang apa
taruhannya
bila aku bersedia melakukannya?" Abu Nawas ganti bertanya.
"Seratus
keping uang emas. Disamping itu Baginda harus tertawa tatkala engkau
pantati."
kata mereka. Abu Nawas pulang setelah menyanggupi tawaran yang
amat
berbahaya itu.
Kawan-kawan
Abu Nawas tidak yakin Abu Nawas sanggup membuat Baginda
Raja
tertawa apalagi ketika dipantati. Kayaknya kali ini Abu Nawas harus
berhadapan
dengan algojo pemenggal kepala.
Minggu depan
Baginda Raja Harun Al Rasyid akan mengadakan jamuan
kenegaraan.
Para menteri, pegawai istana dan orang-orang dekat Baginda
diundang,
termasuk Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan
cepat
karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi
keselamatan
lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas
hari-hari
terasa amat panjang. Karena mereka tak sabar menunggu pertaruhan
yang amat
mendebarkan itu.
Persiapan-persiapan
di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja
menginginkan
perjamuan nanti meriah karena Baginda juga mengundang raja-
raja dari
negeri sahabat.
Ketika
hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas.
Kawan-kawan
Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena
Abu Nawas
tidak hadir. Namun temyata mereka keliru. Abu Nawas bukannya
tidak
datang tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk di tempat yang paling
belakang.
Ceramah-ceramah
yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato.
Dan
tibalah giliran Baginda Raja Harun Al Rasyid menyampaikan pidatonya.
Seusai
menyampaikan pidato Baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian di
tempat
yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran Baginda bertanya,
"Mengapa
engkau tidak duduk di atas karpet?"
"Paduka
yang mulia, hamba haturkan terima kaslh atas perhatian Baginda.
Hamba
sudah merasa cukup bahagia duduk di sini." kata Abu Nawas.
"Wahai
Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaianmu kotor
karena
duduk di atas tanah." Baginda Raja menyarankan. "Ampun Tuanku yang
mulia,
sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet."
Baginda
bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena Baginda melihat
sendiri
Abu Nawas duduk di atas lantai. "Karpet yang mana yang engkau
maksudkan
wahai Abu Nawas?" tanya Baginda masih bingung.
"Karpet
hamba sendiri Tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa
karpet ke
manapun hamba pergi." Kata Abu Nawas seolah-olah menyimpan
misteri.
"Tetapi
sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa." kata Baginda
Raja
bertambah bingung.
"Baiklah
Baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang
hati hamba
akan menunjukkan kepada Paduka yang mulia." kata Abu Nawas
sambil
beringsut-ringsut ke depan. Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu
Nawas
berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang
ditempelkan
di bagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-olah memantati
Baginda
Raja Harun Al Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel di pantat
Abu Nawas,
Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau
terpingkal-pingkal
diikuti oleh para undangan.
Menyaksikan
kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa
kagum.
Mereka
harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.
oo000oo
Ketenangan Hati
Sudan lama
Abu nawas tidak dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda.
Abunawas
juga sudah lama tidak muncul di kedai teh. Kawan-kawan Abunawas
banyak
yang merasa kurang bergairah tanpa kehadiran Abu nawas. Tentu saja
keadaan
kedai tak semarak karena Abu nawas si pemicu tawa tidak ada.
Suatu hari
ada seorang laki-laki setengah baya ke kedai teh menanyakan Abu
nawas. la
mengeluh bahwa ia tidak menemukan jalan keluar dari rnasalah pelik
yang
dihadapi.
Salah
seorang teman Abunawas ingin mencoba menolong.
"Cobalah
utarakan kesulitanmu kepadaku barang-kali aku bisa membantu." kata
kawan
Abunawas.
"Baiklah.
Aku mempunyai rumah yang amat sempit. Sedangkan aku tinggal
bersama
istri dan kedelapan anak-anakku. Rumah itu kami rasakan terlalu
sempit
sehingga kami tidak merasa bahagia." kata orang itu membeberkan
kesulitannya.
Kawan
Abunawas tidak mampu memberikan jalan keluar, juga yang lainnya.
Sehingga
mereka menyarankan agar orang itu pergi menemui Abunawas di
rumahnya
saja.
Orang itu
pun pergi ke rumah Abunawas. Dan kebetulan Abu Nawas sedang
mengaji.
Setelah mengutarakan kesulitan yang sedang dialami, Abunawas
bertanya
kepada orang itu.
"Punyakah
engkau seekor domba?"
"Tidak
tetapi aku mampu membelinya." jawab orang itu.
"Kalau
begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu."
Abunawas
menyarankan.
Orang itu
tidak membantah. la langsung membeli seekor domba seperti yang
disarankan
Abunawas.
Beberapa
hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas.
"Wahai
Abunawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku
bertambah
sesak. Aku dan keluargaku merasa segala sesuatu menjadi lebih
buruk
dibandingkan sebelum tinggal bersama domba." kata orang itu mengeluh.
"Kalau
begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di
dalam rumahmu:"
kata Abunawas.
Orang itu
tidak membantah. la langsung membeli beberapa ekor unggas yang
kemudian
dimasukkan ke dalam rumahnya. Beberapa hari kemudian orang itu
datang
lagi ke rumah Abu Nawas.
"Wahai
Abu Nawas,aku telah melaksanakan saran-saranmu dengan menambah
penghuni
rumahku dengan beberapa ekor unggas. Namun begitu aku dan
keluargaku
semakin tidak betah tinggal di rumah yang makin banyak
perighuninya.
Kami bertambah merasa tersiksa." kata orang itu dengan wajah
yang
semakin muram.
"Kalau
begitu belilah seekor anak unta dan peliharalah di dalam rumahmu."kata
Abu Nawas
menyarankan
Orang itu
tidak membantah. la langsung ke pasar hewan membeli seekor anak
unta untuk
dipelihara di dalam rumahnya.
Beberapa
hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. la berkata,
"Wahai
Abu Nawas, tahukah engkau bahwa keadaan di dalam rumahku sekarang
hampir
seperti neraka. Semuanya berubah menjadi lebih mengerikan dari pada
hari-hari
sebelumnya. Wahai Abu Nawas, kami sudah tidak tahan tinggal
serumah
dengan binatang-binatang itu." kata orang itu putus asa.
"Baiklah,
kalau kalian sudah merasa tidak tahan maka juallah anak unta itu."
kata Abu
Nawas.
Orang itu
tidak membantah. la langsung menjual anak unta yang baru
dibelinya.
Beberapa
hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu
"Bagaimana
keadaan kalian sekarang?" Abu Nawas bertanya.
"Keadaannya
sekarang lebih baik karena anak unta itu sudah tidak lagi tinggal
disini."
kata orang itu tersenyum. "Baiklah, kalau begitu sekarang juallah
unggas-unggasmu."
kata Abu Nawas.
Orang itu
tidak membantah. la langsung menjual unggas-unggasnya.
Beberapa
hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu.
"Bagaimana
keadaan rumah kalian sekarang ?" Abu Nawas bertanya.
"Keadaan
sekarang lebih menyenangkan karena unggas-unggas itu sudah tidak
tinggal
bersama kami." kata orang itu dengan wajah ceria.
"Baiklah
kalau begitu sekarang juallah domba itu." kata Abu Nawas.
Orang itu
tidak membantah. Dengan senang hati ia langsung menjual
dombanya.
Beberapa
hari kemudian Abu Nawas bertamu ke rumah orang itu. la bertanya,
"Bagaimana
keadaan rumah kalian sekarang ?" "Kami merasakan rumah kami
bertambah
luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama
kami. Dan
kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami
mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepadamu hai Abu Nawas." kata
orang itu
dengan wajah berseri-seri.
"Sebenarnya
batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau
engkau
selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan maka Tuhan akan mencabut
kesempitan
dalam hati dan pikiranmu." kata Abu Nawas menjelaskan.
Dan
sebelum Abu Nawas pulang, ia bertanya kepada orang itu,
"Apakah
engkau sering berdoa ?"
"Ya."
jawab orang itu.
"Ketahuilah
bahwa doa seorang hamba tidak mesti diterima oleh Allah karena
manakala
Allah membuka pintu pemahaman kepada engkau ketika Dia tidak
memberi
engkau, maka ketiadaan pemberian itu merupakan pemberian yang
sebenarnya."
oo000oo
Manusia Bertelur
Sudah
bertahun-tahun Baginda Raja Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu
Nawas.
Namun perangkap-perangkap yang selama ini dibuat semua bisa diatasi
dengan
cara-cara yang cemerlang oleh Abu Nawas. Baginda Raja tidak putus
asa. Masih
ada puluhan jaring muslihat untuk menjerat Abu Nawas.
Baginda
Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air
hangat
yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang ter-
kenal.
Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja beserta para menterinya
berendam
di kolam, beliau berkata kepada para menteri,
"Aku
punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah
itu wahai Paduka yang mulia ?" tanya salah seorang menteri.
"Kalian
tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini
besok
sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena
aku akan
mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita." kata Baginda Raja
memberi
pengarahan. Baginda Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan
apa yang
akan digelar besok.
Abu Nawas
diundang untuk mandi bersama Baginda Raja dan para menteri di
pemandian
air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan,
Baginda
Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa
sembilan
belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para
menterinya.
Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pe-
ngarahan
singkat tentang apa yang telah direncanakan untuk menjebak Abu
Nawas.
Ketika Abu
Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam
di kolam.
Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas
harap-harap
cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin
permainan
kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang
waktu
untuk berpikir.
Tiba-tiba
Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, "Hai
Abu Nawas,
aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau
ikut dalam
permainan kami"
"Permainan
apakah itu Paduka yang mulia ?" tanya Abu Nawas belum mengerti.
"Kita
sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh
binatang.
Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing."
kata
Baginda sambil tersenyum.
"Hamba
belum mengerti Baginda yang mulia." kata Abu Nawas agak ketakutan.
"Masing-masing
dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang
tidak bisa
bertelur maka ia harus dihukum!"
kata Baginda.
Abu Nawas
tidak berkata apa-apa.Wajahnya nampak murung. la semakin yakin
dirinya
tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah.
Melihat
wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.
"Nan
sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil
menunjukkan
telur kita masing-masing." perintah Baginda Raja.
Baginda
Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu
persatu
derigan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam
kolam. ia
tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang
tidak tahu
kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu
kalau
Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing
satu
butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak
akan
pernah ada yang bisa.
Karena
dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke
permukaan
kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu
Nawas.
Abu Nawas
nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia
mengeluarkan
suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga
Baginda
dan para menterinya merasa heran.
"Ampun
Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para
menteri."
kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau
begitu engkau harus dihukum." kata Baginda bangga.
"Tunggu
dulu wahai Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi
hai Abu Nawas." kata Baginda tidak sabar.
"Paduka
yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya
kalau
hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa
menjadi
ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang
bisa
bertelur. Kuk kuru yuuuuuk...!" kata Abu Nawas dengan membusungkan
dada.
Baginda
Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang
semula
cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah
padam karena
malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.
Abu Nawas
memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa
malu,
Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan
kembali ke
istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.
Memang Abu
Nawas yang tampaknya blo'on itu sebenarnya diakui oleh para
ilmuwan
sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk
membolak-balikkan
dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental
lawan-lawannya.
oo000oo
Peringatan Aneh
Suatu hari
Abu Nawas dipanggil Baginda.
"Abu
Nawas." kata Baginda Raja Harun Al Rasyid memulai pembicaraan.
"Daulat
Paduka yang mulia." kata Abu Nawas penuh takzim.
"Aku
harus berterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau kupanggil bukan
untuk kupermainkan
atau kuperangkap. Tetapi aku benar-benar memerlukan
bantuanmu."
kata Baginda bersungguh-sungguh.
"Gerangan
apakah yang bisa hamba lakukan untuk Paduka yang mulia?" tanya
Abu Nawas.
"Ketahuilah
bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan
kenegaraan
dari negeri sahabat. Kebetulan rajanya beragama Yahudi. Raja itu
adalah
sahabat karibku. Begitu dia berjumpa denganku dia langsung
mengucapkan
salam secara Islam, yaitu Assalamualaikum (kesejahteraan buat
kalian
semua) Aku tak menduga sama sekali. Tanpa pikir panjang aku
menjawab
sesuai dengan yang diajarkan oleh agama kita, yaitu kalau mendapat
salam dari
orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan
Wassamualaikum
(Kecelakaan bagi kamu) Tentu saja dia merasa tersinggung.
Dia
menanyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa
keselamatan
dengan jawaban yang mengandung kecelakaan. Saat itu sungguh
aku tak
bisa berkata apa-apa selain diam. Pertemuanku dengan dia selanjutnya
tidak
berjalan dengan semestinya. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya
melaksanakan
apa yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Tetapi dia tidak
bisa
menerima penjelasanku. Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap
agama
Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya. Dan sebelum kami berpisah
dia
berkata: Rupanya hubungan antara. kita mulai sekarang tidak semakin baik,
tetapi
sebaliknya. Namun bila engkau mempunyai alasan laih yang bisa aku
terima,
kita akan tetap bersahabat." kata Baginda menjelaskan dengan wajah
yang amat
murung.
"Kalau
hanya itu persoalannya, mungkin, hamba bisa memberikan alasan yang
dikehendaki
rajaf sahabat Paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan
Baginda.
Mendengar
kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang. Beliau berulang-ulang
menepuk
pundak Abu Nawas. Wajah Baginda yang semula gundah gulana
seketika
itu berubah cerah secerah matahari di pagi hari.
"Cepat
katakan, wahai Abu Nawas. Jangan biarkan aku menunggu." kata
Baginda
tak sabar.
"Baginda
yang mulia, memang sepantasnyalah kalau raja Yahudi itu
menghaturkan
ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda.
Karena
ajaran Islam memang menuju keselamatan (dari siksa api neraka) dan
kesejahteraan
(surga) Sedangkan Raja Yahudi itu tahu Baginda adalah orang
Islam.
Bukankah Islam mengajarkan tauhid (yaitu tidak menyekutukan Allah
dengan
yang lain, juga tidak menganggap Allah mempunyai anak. Ajaran tauhid
ini tidak
dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja
Yahudi
sahabat Paduka yang mulia. Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair
adalah
anak Allah seperti orang Nasrani beranggapan Isa anak Allah. Maha Suci
Allah dari
segala sangkaan mereka.Tidak pantas Allah mempunyai anak.
Sedangkan
orang Islam membalas salam dengan ucapan Wassamualaikum
(kecelakaan
bagi kamu) bukan berarti kami mendoakan kamu agar celaka.
Tetapi
semata-mata karena ketulusan dan kejujuran ajaran Islam yang masih
bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan
yang akan menimpa
mereka
bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru itu,
yaitu
tuduhan mereka bahwa Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak." Abu
Nawas
menjelaskan.
Seketika
itu kegundahan Baginda Raja Harun Al Rasyid sirna. Kali ini saking
gembiranya
Baginda menawarkan Abu Nawas agar memilih sendiri hadiah apa
yang
disukai. Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa
tak
selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.
oo000oo
Asmara Memang Aneh
Secara tak
terduga Pangeran yang menjadi putra marikota jatuh sakit. Sudah
banyak
tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak
seorang
pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan
sayembara.
Sayembara boleh diikuti oleh rakyat dari semua lapisan. Tidak
terkecuali
oleh para penduduk neggeri tetangga.
Sayembara
yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu beberapa
hari
berhasil menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka
berhasil
mengobati penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat
Abu Nawas,
menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota.
Baginda
Harun Al Rasyid menerima usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas
sadar
bahwa dirinya bukan tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa.
Para tabib
yang ada di istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa
peralatan
yang mungkin diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang macam
Abu Nawas
ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan para tabib
terkenal
dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup. Bahkan
penyakitnya
tidak terlacak. Abu Nawas merasa bahwa seluruh perhatian tertuju
padanya.
Namun Abu Nawas tidak begitu memperdulikannya.
Abu Nawas
dipersilahkan memasuki kamar pangeran yang sedang terbaring. la
menghampiri
sang pangeran dan duduk di sisinya.
Setelah
Abu Nawas dan sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu
Nawas
berkata, "Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering
mengembara
ke pelosok negeri."
Orang tua
yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. "Sebutkan satu persatu
nama-nama
desa di daerah selatan." perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.
Ketika
orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas
menempelkan
telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas
memerintahkan
agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah
semua
bagian negeri disebutkan, Abu Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi
sebuah
desa di sebelah utara. Raja merasa heran.
"Engkau
kuundang ke sini bukan untuk bertamasya." "Hamba tidak bermaksud
berlibur
Yang Mulia." kata Abu Nawas.
"Tetapi
aku belum paham." kata Raja.
"Maafkan
hamba, Paduka Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya bila hamba
jelaskan
sekarang." kata Abu Nawas. Abu Nawas pergi selama dua hari.
Sekembali
dari desa itu Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan
sesuatu
kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu
Nawas
menghadap Raja.
"Apakah
Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?" tanya
Abu Nawas.
"Apa
maksudmu?" Raja balas bertanya.
"Sang
pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara
negeri ini."
kata Abu Nawas menjelaskan.
"Bagaimana
kau tahu?"
"Ketika
nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan tiba-tiba degup
jantungnya
bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian
utara
negeri ini. Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada
Baginda."
"Lalu
apa yang harus aku lakukan?" tanya Raja.
"Mengawinkan
pangeran dengan gadis desa itu."
"Kalau
tidak?" tawar Raja ragu-ragu.
"Cinta
itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan
mati."
Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang pangeran adalah putra
satu-satunya
yang merupakan pewaris tunggal kerajaan.
Abu Nawas
benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang pangeran
berangsur-angsur
pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu Nawas
sebuah
cincin permata yang amat indah.
oo000oo
Cara Memilih Jalan
Kawan-kawan
Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata
ke hutan.
Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa
memenatkan
dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke
rumah Abu
Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Abu Nawas tidak keberatan.
Mereka
berangkat dengan mengendarai keledai masing-masing sambil
bercengkrama.
Tak terasa
mereka telah menempuh hampir separo perjalanan. Kini mereka
tiba di
pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk. Mereka berhenti
karena
mereka ragu-ragu. Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke
hutan
tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang
dihuni
binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka.
Abu Nawas
hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena
bila salah
pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali. Bukankah
lebih
bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan? Tetapi salah
seorang
dari mereka tiba-tiba berkata,
"Aku
mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah
sana.
Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa
membedakan
keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang satu selalu
berkata
jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka
adalah
orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan
saja."
"Apakah
engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?"
tanya Abu
Nawas.
"Tidak."
jawab kawan Abu Nawas singkat.
"Baiklah
kalau begitu kita beristirahat sejenak." usul Abu Nawas.
Abu Nawas
makan daging dengan madu bersama kawan-kawannya.
Seusai
makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang
kembar
bersaudara. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari
dua orang
kembar bersaudara itu.
"Maaf,
aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu
pertanyaan
saja. Tidak boleh lebih." katanya. Kemudian Abu Nawas
menghampiri
orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara
berbisik
pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan
segera
mohon diri.
"Hutan
yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan." kata Abu Nawas mantap
kepada
kawan-kawannya.
"Bagaimana
kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan?
Sedangkan
kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu
berkata
benar atau yang selalu berkata bohong?" tanya salah seorang dari
mereka.
"Karena
orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri." kata Abu
Nawas.
Karena
masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan. "Tadi aku
bertanya:
Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang
mana yang
menuju hutan yang indah?" Bila jalan yang benar itu sebelah kanan
dan bila
orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan
menjawab:
Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan
mengatakan
jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila
orang itu
kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan
sebelah
kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah
kiri sebab
saudara kembarnya selalu berkata benar.
oo000oo
Strategi Maling
Tanpa
pikir panjang Abu Nawas memutuskan untuk menjual keledai
kesayangannya.
Keledai itu merupakan kendaraan Abu Nawas satu-satunya.
Sebenarnya
ia tidak tega untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu Nawas amat
membutuhkan
uang. Dan istrinya setuju.
Keesokan
harinya Abu Nawas membawa keledai ke pasar. Abu Nawas tidak tahu
kalau ada
sekelompok pencuri yang terdiri dari empat orang telah mengetahui
keadaan
dan rencana Abu Nawas. Mereka sepakat akan memperdaya Abu
Nawas.
Rencana pun mulai mereka susun.
Ketika Abu
Nawas beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan
berkata,
"Apakah
engkau akan menjual kambingmu?"
Tentu saja
Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-
tiba.
"Ini
bukan kambing." kata Abu Nawas.
"Kalau
bukan kambing, lalu apa?" tanya pencuri itu selanjutnya.
"Keledai."
kata Abu Nawas.
"Kalau
engkau yakin itu keledai, jual saja ke pasar dan dan tanyakan pada
mereka."
kata komplotan pencuri itu sambil berlalu. Abu Nawas tidak
terpengaruh.
Kemudian ia meneruskan perjalanannya.
Ketika Abu
Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya
dan
berkata."Mengapa kau menunggang kambing."
"Ini
bukan kambing tapi keledai."
"Kalau
itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing
kok
dikatakan keledai."
"Kalau
ini kambing' aku tidak akan menungganginya." jawab Abu Nawas tanpa
ragu.
"Kalau
engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang
di
sana." kata pencuri kedua sambil berlalu.
Abu Nawas
belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar.
Pencuri
ketiga datang menghampiri Abu Nawas,"Hai Abu Nawas akan kau bawa
ke mana
kambing itu?"
Kali ini
Abu Nawas tidak segera menjawab.la mulai ragu, sudah tiga orang
mengatakan
kalau hewan yang dibawanya adalah kambing.
Pencuri
ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan. la makin merecoki otak Abu
Nawas,
"Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya
itu adalah
kambing, kambing ....... kambiiiiiing
!"
Abu Nawas
berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri
keempat
melaksanakan strategi busuknya. la duduk di samping Abu Nawas dan
mengajak
tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.
"Ahaa,
bagus sekali kambingmu ini...!" pencuri keempat membuka percakapan.
"Kau
juga yakin ini kambing?" tanya Abu Nawas.
"Lho?
ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kambing. Kalau boleh aku ingin
membelinya."
"Berapa
kau mau membayarnya?"
"Tiga
dirham!"
Abu Nawas
setuju. Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu
Nawas
langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya.
"Jadi
keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan
bahwa
keledai itu kambing?" Abu Nawas tidak bisa menjawab. la hanya
mendengarkan
ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol. Kini
ia baru
menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang
menggoyahkan
akal sehatnya.
Abu Nawas
merencanakan sesuatu. la pergi ke hutan mencari sebatang kayu
untuk
dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang..
Rencana
Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Hampir semua orang
membicarakan
keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh
para
pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan
mereka
melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa
membayar
tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir
kalau
tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya
dengan
mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
Akhirnya
mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, "Apakah tongkatmu akan
dijual?"
"Tidak."
jawab Abu Nawas dengan cuek.
"Tetapi
kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi." kata mereka.
"Berapa?"
kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.
"Seratus
dinar uang emas." kata mereka tanpa ragu-ragu.
"Tetapi
tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki." kata
Abu Nawas
sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
"Dengan
uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak." Kata mereka makin
penasaran.
Abu Nawas
diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali.
"Baiklah
kalau begitu." kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan
tongkatnya.
Setelah
menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang.
Para
pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban
tongkat
yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat
itu kepada
pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah.
"Apa
maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?" "Bukankah Abu Nawas juga
mengacungkan
tongkat ini dan engkau membebaskannya?" tanya para pencuri
itu.
"Benar.
Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang
kepadaku
sebelum makan di sini!"
"Gila!
Temyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu
Nawas.
Kita malah rugi besar!" umpat para pencuri dengan rasa dongkol.
oo000oo
Menjebak Pencuri
Pada zaman
dahulu orang berpikir dengan cara yang amat sederhana. Dan
karena
kesederhanaan berpikir ini seorang pencuri yang telah berhasil
menggondol
seratus keping lebih uang emas milik seorang saudagar kaya tidak
sudi
menyerah.
Hakim
telah berusaha keras dengan berbagai cara tetapi tidak berhasil
menemukan
pencurinya. Karena merasa putus asa pemilik harta itu
mengumumkan
kepada siapa saja yang telah mencuri harta miliknya merelakan
separo
dari jumlah uang emas itu menjadi milik sang pencuri bila sang pencuri
bersedia
mengembalikan. Tetapi pencuri itu malah tidak berani menampakkan
bayangannya.
Kini kasus
itu semakin ruwet tanpa penyelesaian yang jelas. Maksud baik
saudagar
kaya itu tidak mendapat-tanggapan yang sepantasnya dari sang
pencuri.
Maka tidak bisa disalahkan bila saudagar itu mengadakan sayembara
yang
berisi barang siapa berhasil menemukan pencuri uang emasnya, ia berhak
sepenuhnya
memiliki harta yang dicuri.
Tidak
sedikit orang yang mencoba tetapi semuanya kandas. Sehingga pencuri
itu
bertambah merasa aman tentram karena ia yakin jati dirinya tak akan
terjangkau.
Yang lebih menjengkelkan adalah ia juga berpura-pura mengikuti
sayembara.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa menghadapi orang seperti
ini
bagaikan menghadapi jin. Mereka tahu kita, sedangkan kita tidak. Seorang
penduduk
berkata kepada hakim setempat.
"Mengapa
tuan hakim tidak minta bantuan Abu Nawas saja?"
"Bukankah
Abu Nawas sedang tidak ada di tempat?" kata hakim itu balik
bertanya.
"Kemana
dia?" tanya orang itu.
"Ke
Damakus." jawab hakim
"Untuk
keperluan apa?" orang itu ingin tahu.
"Memenuhi
undangan pangeran negeri itu." kata hakim.
"Kapan
ia datang?" tanya orang itu lagi.
"Mungkin
dua hari lagi." jawab hakim.
Kini
harapan tertumpu sepenuhnya di atas pundak Abu Nawas.
Pencuri
yang selama ini merasa aman sekarang menjadi resah dan tertekan. la
merencanakan
meninggalkan kampung halaman dengan membawa serta uang
emas yang
berhasil dicuri. Tetapi ia membatalkan niat karena dengan
menyingkir
ke luar daerah berarti sama halnya dengan membuka topeng dirinya
sendiri.
la lalu bertekad tetap tinggal apapun yang akan terjadi.
Abu Nawas
telah kembali ke Baghdad karena tugasnya telah selesai. Abu Nawas
menerima
tawaran mengikuti sayembara menemukan pencuri uang emas. Hati
pencuri
uang emas itu tambah berdebar tak karuan mendengar Abu Nawas
menyiapkan
siasat.
Keesokan
harinya semua penduduk dusun diharuskan berkumpul di depan
gedung
pengadilan. Abu Nawas hadir dengan membawa tongkat dalam jumlah
besar.
Tongkat-tongkat itu mempunyai ukuran yang sama panjang. Tanpa
berkata-kata
Abu Nawas membagi-bagikan tongkat-tongkat yang dibawanya
dari
runnah.
Setelah
masing-masing mendapat satu tongkat, Abu Nawas berpidato, "Tongkat-
tongkat
itu telah aku mantrai. Besok pagi kalian harus menyerahkan kembali
tongkat
yang telah aku bagikan. Jangan khawatir, tongkat yang dipegang oleh
pencuri
selama ini menyembunyikan diri akan bertambah panjang satu jari
telunjuk.
Sekarang pulanglah kalian."
Orang-orang
yang merasa tidak mencuri tentu tidak mempunyai pikiran apa-
apa.
Tetapi sebaliknya, si pencuri uang emas itu merasa ketakutan. la tidak
bisa
memejamkan mata walaupun malam semakin larut. la terus berpikir keras.
Kemudian
ia memutuskan memotong tongkatnya sepanjang satu jari telunjuk
dengan
begitu tongkatnya akan tetap kelihatan seperti ukuran semula.
Pagi hari
orang mulai berkumpul di depan gedung pengadilan. Pencuri itu
merasa
tenang karena ia yakin tongkatnya tidak akan bisa diketahui karena ia
telah
memotongnya sepanjang satu jari telunjuk. Bukankah tongkat si pencuri
akan
bertambah panjang satu jari telunjuk? la memuji kecerdikan diri sendiri
karena ia
ternyata akan bisa mengelabui Abu Nawas.
Antrian
panjang mulai terbentuk. Abu Nawas memeriksa tongkat-tongkat yang
dibagikan
kemarin. Pada giliran si pencuri tiba Abu Nawas segera mengetahui
karena
tongkat yang dibawanya bertambah pendek satu jari telunjuk. Abu
Nawas tahu
pencuri itu pasti melakukan pemotongan pada tongkatnya karena ia
takut
tongkatnya bertambah panjang.
Pencuri
itu diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Seratus keping
lebih uang
emas kini berpindah ke tangan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas tetap
bijaksana,
sebagian dari hadiah itu diserahkan kembali kepada keluarga si
pencuri,
sebagian lagi untuk orang-orang miskin dan sisanya untuk keluarga Abu
Nawas
sendiri.
oo000oo
Tipu Dibalas Tipu
Ada
seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan
memperdaya
Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka
berangkat
menemui Abu Nawas di kediamannya.
Ketika
mereka datang Abu Nawas sedang melakukan salat Dhuha. Setelah
dipersilahkan
masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil
berbincang-bincang
santai.
Seusai
salat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya
bercakap-cakap
sejenak.
"Kami
sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau
engkau
tidak keberatan bergabunglah bersama kami." kata Ahli Yoga.
"Dengan
senang hati. Lalu kapan rencananya?" tanya Abu Nawas polos.
"Besok
pagi." kata Pendeta.
"Baiklah
kalau begitu kita bertemu di warung teh besok." kata Abu Nawas
menyanggupi.
Hari
berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah
seorang
Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka
masing-masing.
Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena
mereka
memang sengaja tidak membawa bekal.
"Hai
Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna
membeli
makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan
kebaktian."
kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari
dan
mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma
terkumpul,
Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu
Nawas
kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena
sudah tak
sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata,
"Mari
segera kita bagi makanan ini sekarang juga." "Jangan sekarang. Kami
sedang
berpuasa." kata Ahli Yoga.
"Tetapi
aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian
terserah
pada kalian." kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.
"Aku
tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun:" kata
Pendeta.
"Betul
aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi.
Besok pagi
aku baru akan berbuka." kata Ahli Yoga.
"Bukankah
aku yang engkau jadikan alat pencari derma Dan derma itu sekarang
telah
kutukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku
mengambil
bagian sendiri. Itu tidak masuk akal." kata Abu Nawas mulai mera
jengkel.
Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak
mengijinkan
Abu Nawas mengambil bagian yang menja haknya.
Abu Nawas
penasaran. la mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya
agar
mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak.
Abu Nawas
benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tid
memperlihatkan
sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
"Bagaimana
kalau kita mengadakan perjanjian." kata Pendeta kepada Abu
Nawas.
"Perjanjian
apa?" tanya Abu Nawas.
"Kita
adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia
akan
mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang
terburuk
akan mendapat paling sedikit." Pendeta itu menjelaskan.
Abu Nawas
setuju. la tidak memberi komentar apa-apa.
IVfalam
semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga
mengantuk
dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la hanya berpura-pura tidur.
Setelah
merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri
makanan
itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu
hinggatidak
tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru
bisa
tidur.
Keesokan
hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah
berseri-seri
bercerita,
"Tadi
malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan
Nirvana.
Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya
dalam
hidup ini."
Pendeta
mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-
betul luar
biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya.
"Aku
seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan temyata memang benar. Aku
secara
tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku
hidup. Aku
bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku
diberkatinya."
Ahli Yoga
juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam.
la bahkan
tidak merasa tertarik sedikitpun.
Karena Abu
Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dai Ahli Yoga mulai tidak
sabar
untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.
"Kalian
tentu tahu Nabi Daud alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli
berpuasa.
Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau
menanyakan
apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena
aku memang
tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera
berbuka
karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan
perintah
beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan
makanan
itu." kata Abu Nawas tanpa perasaa bersalah secuil pun.
Sambil
menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling
berpandangan
satu sama lain.
Kejengkelan
Abu Nawas terobati.
Kini
mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu
Nawas,
pasti hanya akan mendapat celaka sendiri.
oo000oo
Tugas Yang Mustahil
Abu Nawas
belum kembali. Kata istrinya ia bersarna seorang Pendeta dan
seorang
Ahli Yoga sedang melakukan pengembaraan suci. Padahal saat ini
Baginda
amat membutuhkan bantuan Abu Nawas. Beberapa hari terakhir ini
Baginda
merencanakan membangun istana di awang-awang. Karena sebagian
dari
raja-raja negeri sahabat telah membangun bangunan-bangunan yang luar
biasa.
Baginda
tidak ingin menunggu Abu Nawas iebih lama lagi. Beliau mengutus
beberapa
orang kepercayaannya untuk mencari Abu Nawas. Mereka tidak
berhasil
menemukan Abu Nawas kerena Abu Nawas ternyata sudah berada di
rumah
ketika mereka baru berangkat.
Abu Nawas
menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Baginda amat riang.
Saking
gembiranya beliau mengajak Abu Nawas bergurau. Setelah saling tukar
menukar
cerita-cerita lucu, lalu Baginda mulai mengutarakan rencananya.
"Aku
sangat ingin membangun istana di awang-awang agar aku Iebih terkenal di
antara
raja-raja yang lain. Adakah kemungkinan keinginanku itu terwujud,
wahai Abu
Nawas?"
"Tidak
ada yang tidak mungkin dilakukan di dunia ini Paduka yang mulia." kata
Abu Nawas
berusaha mengikuti arah pembicaraan Baginda.
"Kalau
menurut pendapatmu hal itu tidak mustahil diwujudkan maka aku
serahkan
sepenuhnya tugas ini kepadamu." kata Baginda puas.
Abu Nawas
terperanjat. la menyesal telah mengatakan kemungkinan
mewujudkan
istana di awang-awang. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Kata-
kata yang
telah terlanjur didengar oleh Baginda tidak mungkin ditarik kembali.
Baginda
memberi waktu Abu Nawas beberapa minggu. Rasanya tak ada yang
lebih
berat bagi Abu Nawas kecuali tugas yang diembannya sekarang.
Jangankan
membangun istana di langit, membangun sebuah gubuk kecil pun
sudah
merupakan hal yang mustahil dikerjakan. Hanya Tuhan saja yang mampu
melakukannya.
Begitu gumam Abu Nawas.
Hari-hari
berlalu seperti biasa. Tak ada yang dikerjakan Abu Nawas kecuali
memikirkan
bagaimana membuat Baginda merasa yakin kalau yang dibangun itu
benar-benar
istana di langit. Seluruh ingatannya dikerahkan dan dihubung-
hubungkan.
Abu Nawas bahkan berusaha menjangkau masa kanak-kanaknya.
Sampai ia
ingat bahwa dulu ia pernah bermain layang-layang.
Dan inilah
yang membuat Abu Nawas girang. Abu Nawas tidak menyia-nyiakan
waktu
lagi. la bersama beberapa kawannya merancang layang-layang raksasa
berbentuk
persegi empat. Setelah rampung baru Abu Nawas melukis pintu-pintu
serta
jendela-jendela dan ornamen-ornamen lainnya.
Ketika
semuanya selesai Abu Nawas dan kawan-kawannya menerbangkan
layang-layang
raksasa itu dari suatu tempat yang dirahasiakan.
Begitu
layang-layang raksasa berbentuk istana itu mengapung di angkasa,
penduduk
negeri gempar.
Baginda
Raja girang bukan kepalang. Benarkah Abu Nawas berhasil membangun
istana di
langit? Dengan tidak sabar beliau didampingi beberapa orang
pengawal
bergegas menemui Abu Nawas.
Abu Nawas
berkata dengan bangga.
"Paduka
yang mulia, istana pesanan Paduka telah rampung."
"Engkau
benar-benar hebat wahai Abu Nawas." kata Baginda memuji Abu
Nawas.
"Terima
kasih Baginda yang mulia." kata Abu Nawas "Lalu bagaimana caranya
aku ke
sana?" tanya Baginda. "Dengan tambang, Paduka yang mulia." kata
Abu
Nawas.
"Kalau
begitu siapkan tambang itu sekarang. Aku ingin segera melihat istanaku
dari
dekat." kata Baginda tidak sabar.
"Maafkan
hamba Paduka yang mulia. Hamba kemarin lupa memasang tambang
itu.
Sehingga seorang kawan hamba tertinggal di sana dan tidak bisa turun."
kata Abu
Nawas. .
"Bagaimana
dengan engkau sendiri Abu Nawas? Dengan apa engkau turun ke
bumi?"
tanya Baginda.
"Dengan
menggunakan sayap Paduka yang mulia." kata Abu Nawas dengan
bangga.
"Kalau
begitu buatkan aku sayap supaya aku bisa terbang ke sana." kata
Baginda.
"Paduka
yang mulia, sayap itu hanya bisa diciptakan dalam mimpi." kata Abu
Nawas
menjelaskan.
"Engkau
berani mengatakan aku gila sepertimu?" tanya Baginda sambil melotot.
"Ya,
Baginda. Kurang lebih seperti itu." jawab Abu Nawas tangkas.
"Apa
maksudmu?" tanya Baginda lagi.
"Baginda
tahu bahwa membangun istana di awang-awang adalah pekerjaan
yang
mustahil dilaksanakan. Tetapi Baginda tetap menyuruh hamba
mengerjakannya.
Sedangkan hamba juga tahu bahwa pekerjaan itu mustahil
dikerjakan,
Tetapi hamba tetap menyanggupi titah Baginda yang tidak masuk
akal
itu." kata Abu Nawas berusaha meyakinkan Baginda.
Tanpa
menoleh Baginda Raja kembali ke istana diiring para pengawalnya. Abu
Nawas
berdiri sendirian sambi memandang ke atas melihat istana terapung di
awang-awang.
"Sebenarnya
siapa diantara kita yang gila?" tanya Baginda mulai jengkel.
"Hamba
kira kita berdua sama-sama tidak waras Tuanku." jawab Abu Nawas
tanpa
ragu.
oo000oo
Orang-Orang Kanibal
Saat itu
Abu Nawas baru saja pulang dari istana setelah dipanggil Baginda. la
tidak
langsung pulang ke rumah melainkan berjalan-jalan lebih dahulu ke
perkampungan
orang-orang badui. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Abu
Nawas yang
suka mempelajari adat istiadat orang-orang badui.
Pada suatu
perkampungan, Abu Nawas sempat melihat sebuah rumah besar
yang dari
luar terdengar suara hingar bingar seperti suara kerumunan puluhan
orang. Abu
tertarik, ingin melihat untuk apa orang-orang badui berkumpul di
sana,
ternyata di rumah besar itu adalah tempat orang badui menjual bubur
haris
yaitu bubur khas makanan para petani. Tapi Abu Nawas tidak segera
masuk ke
rumah besar itu, merasa lelah dan ingin beristirahat maka ia terus
berjalan
ke arah pinggiran desa.
Abu Nawas
beristirahat di bawah sebatang pohon rindang. la merasa hawa di
situ amat
sejuk dan segar sehingga tidak berapa lama kemudian mehgantuk dan
tertidur
di bawah pohon.
Abu Nawas
tak tahu berapa lama ia tertidur, tahu-tahu ia merasa dilempar ke
atas
lantai tanah. Brak! lapun tergagap bangun.
"Kurang
ajar! Siapa yang melemparku?" tanyanya heran sembari menengok
kanan
kiri.
Ternyata
ia berada di sebuah ruangan pengap berjeruji besi. Seperti penjara.
"Hai
keluarkan aku! Kenapa aku dipenjara di sini.!"
Tidak
berapa lama kemudian muncul seorang badui bertubuh besar. Abu Nawas
memperhatikan
dengan seksama, ia ingat orang inilah yang menjua! bubur haris
di rumah
besar di tengah desa.
"Jangan
teriak-teriak, cepat makan ini !" kata orang sembari menyodorkan
piring ke
lubang ruangan. Abu Nawas tidak segera makan. "Mengapa aku
dipenjara?"
"Kau
akan kami sembelih dan akan kami jadikan campuran bubur haris."
"Hah?
Jadi yang kau jual di tengah desa itu bubur manusia?"
"Tepat....
itulah makanan favorit kesukaan kami."
"Kami...?
Jadi kalian sekampung suka makan daging manusia?"
"lya,
termasuk dagingmu, sebab besok pagi kau akan kami sembelih!"
"Sejak
kapan kalian makan daging manusia?"
"Oh..,
sejak lama .... setidaknya sebulan sekali kami makan daging manusia."
"Dari
mana saja kalian dapatkan daging manusia?"
"Kami
tidak mencari ke mana-mana, hanya setiap kali ada orang masuk atau
lewat di
desa kami pasti kami tangkap dan akhirnya kami sembelih untuk
dijadikan
butjur." Abu Nawas diam sejenak. la berpikir keras bagaimana
caranya
bisa meloloskan diri dari bahaya maut ini. la merasa heran, kenapa
Baginda
tidak mengetahui bahwa di wilayah kekuasaannya ada kanibalisme, ada
manasia
makan manusia.
"Barangkali
para menteri hanya melaporkan hal yang baik-baik saja. Mereka
tidak mau
bekerja keras untuk memeriksa keadaan penduduk." pikir Abu
Nawas.
"Baginda harus mengetahui hal seperti ini secara langsung, kalau
perlu....!"
Setelah
memberi makan berupa bubur badui itu meninggalkan Abu Nawas. Abu
Nawas
tentu saja tak berani makan bubur itu jangan-jangan bubur manusia. la
menahan
lapar semalaman tak tidur, tubuhnya yang kurus makin nampak kurus.
Esok
harinya badui itu datang lagi.
"Bersiaplah
sebentar lagi kau akan mati."
Abu Nawas
berkata,"Tubuhku ini kurus, kalaupun kau sembelih kau tidak akan
memperoleh
daging yang banyak. Kalau kau setuju nanti sore akan kubawakan
temanku
yang bertubuh gemuk. Dagingnya bisa kalian makan selama lima hari."
"Benarkah?"
"Aku
tidak pernah bohong!"
Orang
badui itu diam sejenak, ia menatap tajam kearah Abu Nawas. Entah
kenapa
akhirnya orang badui itu rnempercayai dan melepaskan Abu Nawas.
Abu Nawas
langsung pergi ke istana menghadap Bagirida.
Setelah
berbasa-basi maka Baginda bertanya kepada Abu Nawas.
"Ada
apa Abu Nawas? Kau datang tanpa kupanggil?"
"Ampun
Tuanku, hamba barus saja pulang dari suatu desa yang aneh."
"Desa
aneh, apa keanehannya?"
"Di
desa tersebut ada orang menjual bubur haris yang khas dan sangat lezat. Di
samping
itu hawa di desa itu benar-benar sejuk dan segar."
"Aku
ingin berkunjung ke desa itu. Pengawal! Siapkan pasukan!"
"Ampun
Tuanku, jangan membawa-bawa pengawal. Tuanku harus menyamar
jadi orang
biasa."
"Tapi
ini demi keselamatanku sebagai seorang raja"
"Ampun
Tuanku, jika bawa-bawa tentara maka orang sedesa akan ketakukan
dan Tuanku
takkan dapat melihat orang menjual bubur khas itu."
"Baiklah,
kapan kita berangkat?"
"Sekarang
juga Tuanku, supaya nanti sore kita sudah datang di perkampungan
itu."
Demikianlah,
Baginda dengan menyamar sebagai sorang biasa mengikuti Abu
Nawas ke
perakmpungan orang-orang badui kanibal.
Abu Nawas
mengajak Baginda masuk ke rumah besar tempat orang-orang
makan
bubur. Di sana mereka membeli bubur.
Baginda
memakan bubur itu dengan lahapnya.
"Betul
katamu, bubur ini memang lezat!" kata Baginda setelah makan."Kenapa
buburmu
tidak kau makan Abu Nawas."
"Hamba
masih kenyang," kata Abu Nawas sambil melirik dan berkedip ke arah
penjual
bubur.
Setelah
makan, Baginda diajak ke tempat pohon rindang yang hawanya sejuk.
"Betul
juga katamu, di sini hawanya memang sejuk dan segar ..... ahhhhh
........
aku kok mengantuk sekali."kata
Baginda.
"Tunggu
Tuanku, jangan tidur dulu....hamba pamit mau buang ari kecil di
semar
belukar sana."
"Baik,
pergilah Abu Nawas!"
Baru saja
Abu Nawas melangkah pergi, Baginda sudah tertidur, tapi ia segera
terbangun
lagi ketika mendengar suara bentakan keras.
"Hai
orang gendut! Cepat bangun ! Atau kau kami sembelih di tempat ini!"
ternyata
badui penjual bubur sudah berada di belakang Baginda dan menghunus
pedang di
arahkan ke leher Baginda.
"Apa-apaan
ini!" protes Baginda.
"Jangan
banyak cakap! Cepat jalan !"
Baginda
mengikuti perintah orang badui itu dan akhirnya dimasukkan ke dalam
penjara.
"Mengapa
aku di penjara?"
"Besok
kau akan kami sembelih, dagingmu kami campur dengan tepung gandum
dan
jaduilah bubur haris yang terkenal lezat. Hahahahaha !"
"Astaga jadi yang kumakan tadi...?"
"Betul kau telah memakan bubur kami, bubur
manusia."
"Hoekkkkk....!"
Baginda mau muntah tapi tak bisa.
"Sekarang
tidurlah, berdoalah, sebab besok kau akan mati."
"Tunggu...."
"Mau
apa lagi?"
"Berapa
penghasilanmu sehari dari menjual bubur itu?"
"Lima
puluh dirham!"
"Cuma
segitu?"
"lya!"
"Aku
bisa memberimu lima ratus dirham hanya dengan menjual topi."
"Ah,
masak?"
"Sekarang
berikan aku bahan kain untuk membuat topi. Besok pagi boleh kail
coba
menjual topi buatanku itu ke pasar. Hasilya boleh kau miliki semua !"
Badui itu
ragu, ia berbalik melangkah pergi. Tak lama kemudian kembali lagi
dengan
bahan-bahan untuk membuat topi.
Esok
paginya Baginda menyerahkan sebuah topi yang bagus kepada si badui.
Baginda
berpesan,"Juallah topi ini kepada menteri Farhan di istana Bagdad."
Badui itu
menuruti saran Baginda.
Menteri
Farhan terkejut saat melihat seorang badui datang menemuinya.
"Mau
apa kau?" tanya Farhan.
"Menjual
topi ini..."
Farhan
melirik, topi itu memang bagus. la mencoba memeriksanya dan
alangkah
terkejutnya ketika melihat hiasan berupa huruf-huruf yang maknanya
adalah
surat dari Baginda yang ditujukan kepada dirinya.
"Berapa
harga topi ini?"
"Lima
ratus dirham tak boleh kurang!"
"Baik
aku beli !"
Badui itu
langsunng pulang dengan wajah ceria. Sama sekali ia tak tahu jika
Farhan
telah mengutus seorang prajurit untuk mengikuti langkahnya. Siangnya
prajurit
itu datang lagi ke istana dengan melaporkan lokasi perkampungan si
penjual
bubur.
Farhan
cepat bertidak sesuai pesan di surat Baginda. Seribu orang tentara
bersenjata
lengkap dibawa ke perkampungan. Semua orang badui di kampung
itu
ditangkapi sementara Baginda berhasil diselamatkan.
"Untung
kau bertindak cepat, terlambat sedikit saja aku sudah jadi bubur!" kata
Baginda
kepada Farhan.
"Semua
ini gara-gara Abu Nawas!" kata Farhan.
"Benar!
Tapi juga salahmu! Kau tak pernah memeriksa perkampungan ini bahwa
penghuninya
adalah orang-orang kanibal!"
"Bagaimanapun
Abu Nawas harus dihukum!"
"Ya,
itu pasti!"
"Hukuman
mati!" sahut Farhan.
"Hukuman
mati? Ya, kita coba apakah dia bisa meloloskan diri?" sahut Baginda.
oo000oo
Lolos Dari Maut
Karena
dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat
celaka.
Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajurit-
prajuritnya
langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke
penjara.
Waktu itu
Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang
akan tiba.
Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa
alasan
yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah
Baginda.
Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.
Beberapa
hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak
cukup kuat
untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga-
tetangganya
tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk
dengan
pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di
dalam
'penjara kecuali mencari jalan keluar.
Seperti
biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan
sedikit.
Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung.
Hari
ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. "Bisakah aku minta tolong
kepadamu?"
kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
"Apa
itu?" kata pengawal itu tanpa gairah.
"Aku
ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk
istriku.
Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh
diketahui
oleh istriku saja."
Pengawal
itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata
pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor.
Mendengar
laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang
diminta
Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa
mengalahkan
Abu Nawas:
Abu Nawas
menulis surat yang berbunyi: "Wahai istriku, janganlah engkau
sekali-kali
menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan
senjata di
situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun."
Tentu saja
surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa
sebenarnya
rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa
puas dan
langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali
ladang Abu
Nawas. Dengan peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan
langsung
menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran.
Mungkinkah
suaminya minta tolong pada mereka?
Pertanyaan
itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit.
Mereka
hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima hari
kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu
berbunyi:
"Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena
beberapa
pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali
seluruh
ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?"
Rupanya
istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan
bijaksana
Abu Nawas membalas: "Sekarang engkau bisa menanam kentang di la-
dang tanpa
harus menggali, wahai istriku."
Kali ini
Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Bagi.nda makin
mengakui
keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu
Nawas
masih bisa melakukan pencangkulan.
********
Abu Nawas
masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa
menyelesaikan
pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain.
Baginda
berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara
untuk
membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko
yang lebih
buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam
penjara
pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang
dibuat
Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat.
Karena
bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil
kesusahan
yang akan ditimbulkan akan semakin gawat.
Kini
hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu
Nawas
menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat
dirindukan.
Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan
membuahkan
hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas
memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah.
Bagaimana
Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak
lagi
memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja
langsung
memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti
Baginda
langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat
ini
Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung
untuk
menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu
Nawas
mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak
membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat
panggilan
dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai
orang yang
hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli
ramal yang
jitu.
Mendengar
Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun
Al Rasyid
merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa mem-
bahayakan
kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap.
Abu Nawas
sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi
riwayatnya.
Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas
sudah
mempersiapkan tameng.
Setelah
beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju
tempat
kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang
baru
diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang.
Baginda
merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga
bertanya-tanya
dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi
detik-detik
terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang,
Abu Nawas
tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya,
"Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri
menghadapi
pedang algojo?"
"Ngeri
Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu
Nawas
sambil tersenyum.
"Engkau
merasa gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul
Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba,
maka
Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba
tidak
bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang.
Baginda
gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman
pancung
dibatalkan.
Abu Nawas
digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu
Nawas
diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu
Nawas
disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa
tinggal di
penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada
penjaga
penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa
jatuh
sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas
setelah
mendengar penuturan penjaga penjara.
*****
Cita-cita
atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak,
namun
Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas.
Seorang
penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar
Baginda
memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk
menandingi
Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu
Nawas.
Menjebak pencuri harus dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama.
Baginda
menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat.
Setelah
ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja
menanyakan
cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-
cara yang
paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut
setuju.
Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa
ramalan
Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak
mempunyai
dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan
di bumi
mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama
andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk
memberikan
pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai
rencana.
Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas
melakukan
kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat
pemancungan.
Benarlah
peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu
saat akan
terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia
akan
dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama.
Benarkah
Abu Nawas sudah keok?
Kita lihat
saja nanti.
Banyak
orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang
miskin dan
tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para
pecinta
dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman
mati yang
akan dijatuhkan.
Baginda
Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum
pernah
Baginda terlihat seriang sekarang.
Keyakinan
orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak
yakin
bahwa hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah
Alia Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang
tidak
mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak
urusan-Nya.
Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak
semakin
resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat
hukuman
bagi dirinya, semakin tegar hatinya.
Baginda
Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah
merupakan
bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah
pada diri
sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya
Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan
akan terus
menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini
tanpa
ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang
bagaimanapun
gawatnya.
Keyakinan
seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu.
Seketika
suasana menjadi hening, sewaktu Bagin Raja memberi sambutan
singkattentang
akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu
Nawas.
Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan
permintaan
terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-
nantikan
Abu Nawas.
"Adakah
permintaan yang terakhir"
"Ada
Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan."
kata Baginda.
"Sudilah
kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba
anggap
cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah."
kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas..
"Paduka
yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba
bersedia
dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka
hamba
dihukum gantung saja." kata Abu Nawas memohon.
"Engkau
memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun
engkau
masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu
muslihatmu
hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda
sambil
tertawa.
"Hamba
tidak bersenda gurau Paduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-
sungguh.
Baginda
makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa,
Abu Nawas
berteriak dengan nyaring.
"Hamba
minta dihukum pancung!"
Semua yang
hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas
membuat
keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap
sesuatu
yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai
mendadak
terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas.
Baginda
Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan
rakyatnya.
Beliau
sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati
yang
paling cocok untuk dirinya.
Kini
kesempatan Abu Nawas membela diri.
"Baginda
yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum
pancung.
Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di
manakah
letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba hams dihukum
gantung.
Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?"
Olah kata
Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-
benar luar
biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar
selain Abu
Nawas di negeri Baghdad ini.
"Abu
Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini.
Berapa
banyakkah bintang di langit?"
"Oh,
gampang sekali Tuanku."
"Iya,
tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan
Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."
"Kau ini.... bagaimana bisa orang
menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana
pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Ha
ha ha ha ha...! Kau memang penggeli hati.
Kau adalah
pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan,
sering-seringlah
datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-
leluconmu
yang baru!"
"Siap
Baginda !"
oo000oo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar