Rabu, 11 Februari 2015


MATERI KULIAH -USHUL FIQIH FUL BAROKAH
(LIL WASAIL HUKMUL MAQASHID)

Felajarn kali ini untuk menaggapi mahluk aneh yang selalu gembor " MANA DALILNYA MANA DALINYA hihihi
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa wahabi itu sepertinya masih kebingungan memahami persoalan ibadah sehingga masih tetap saja ngeyel membid’ahkan amal-amal shalih kaum muslimin….
Kita ambil salah satu contoh kasus dari isu-isu bid’ah yang selalu menganggapnya bid’ah ...
Contoh kasus MAULID /Yasin Tahlil yang semenjak dulu sampai sekarang terus selalu saja ada menganggapnya berdosa jika melakukannya hihihi
Walaupun sudah banyak penjelasan dijelaskan oleh para pelaku Maulid, tetapi rupanya wahabi yang uyu" elum bisa paham-paham juga. Sebabnya mungkin karena keegoisan atau karena belum mengerti persoalan ibadah. Makluminn leeee
Bagi kita yang pernah mengikuti acara Maulid Tahlill dll a, tentunya kita tahu bahwa di dalam acara 'contoh' Maulid Nabi itu berisi aktifitas yang isinya antara lain tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir, pembacaan biografi Nabi dan biasanya di akhir acara ada tausiyah keislaman.pastinya juga ada full menyann.. Nah… kita pastinya sangat hafal dengan dalil-dalil tentang tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tausiyah, dalil-dalilnya sudah banyak tersebar di seantero Dunia nyata, silakan cari sendiri..hihi mbahh lagi sibuk ga sempet nyariin
apa yang ingin mbahh bedah disini , yaitu tentang pertanya'an " para wahabut bahwa adakah Dalil dari “Peringatan MAULID”? Benar-benar adakah dalilnya atau tidak ada?
Sebelum menjawabnya, di sini sebaiknya akan dijelaskan sedikit tentang kaidah ushul fiqh. Kita mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yang sering diLotarkan oleh sebagian teman-teman bahwa: “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya” titik !!
Bermula dari kaidah ini suatu amalan yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan: “Mana Dalilnya?”
Ini karena amalan dipersepsikan kepada sifat dari ibadah yang tauqif. Permasalahannya adalah sudah tahukah sampean , untuk ibadah yang jenis atau macam apakah kaidah tersebut seharusnya diterapkan?
- Penjelasan dari Kitab
-------------------------
Kita akan coba mengambil penjelasan dari kitab ushul Fiqh:
الأصل في العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعاً وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، ” أن الأصل في العبادات التوقيف ” كما “أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة”، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جداً ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادةً لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحدٍ أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصاً أو تقديماً أو تأخيراً أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعاً، والعصر أربعاً، والمغرب ثلاثاً، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدّقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلاً أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقداً جديداً لم يكن موجوداً في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه رباً ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذٍ نقول: هذا العقد مباح؛
Langsung ke maksudnya …. Bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya "tauqif" yaitu sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu…., contohnya ibadah wajib shalat lima waktu, ibadah haji, dll.
Tentunya ini berbeda dengan muamalah yang asalnya boleh sampai adanya dalil yang melarangnya…
Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif itu….
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
Tauqifi dalam sifat ibadah
Ibadah itu tauqifi dalam semua hal, dalam sifatnya….
Maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya… oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( pembuat syari’ah yaitu Gusti Allah ).
التوقيف في زمن العبادة زمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً
Tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah
Waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. Maka tidak boleh seseorang itu membuat-buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة!
Tauqifi dalam macamnya ibadah
Begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at….
Artinya termasuk dari macam / jenis ibadah yang disyari’atkan. Maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyari’atkan, seperti menyembah matahari. Atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata: aku ingin melatih badanku misalkan. Maka ini semua bid’ah.
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.
Begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.
Maka ini juga harus masyru’. Maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. Seperti jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji. Atau wuquf di Mina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. Kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.
- Ibadah Mahdhoh, Ghoiru Mahdhoh, Wasail dan Maqosid
-------------------------------
Berdasarkan dari penjelasan- kitab di atas dapat ditangkap 4 point ingat 4 pinn bukan 5 hihih dan bila diperhatikan maka di situ didapat kesimpulan bahwa ibadah yang sifatnya tauqif itu adalah ibadah mahdhoh… Titik !!
Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”, adalah diterapkan untuk ibadah yang sifatnya mahdoh saja, bukan semua ibadah.
Nah untuk bisa membedakannya, ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatny mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk ghoiru mahdhoh ada maqoshid juga ada wasail.
CONTOH:
Ibadah Sholat, ini sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Misalnya Anda seorang penulis di blog /FB, kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah. Tapi karena anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah dengan jalan menulis di blog /FB maka dalam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah. Heheh faham!!
Padahal ini nggak ada contoh dari Rasulullah,?
Wasailnya anda menulis di blog /FB, maqoshidnya anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah.
Pekerjaan menulis yang begini ini juga termasuk ibadah, tapi ibadah semacam ini tidak dicontohkan oleh Rasul Saw, juga tidak dicontohkan oleh Para Sahabat Nabi.
Hihi biar otaknya rada cair seruput ddulu coffinya
Lanjut...Nah, yang salah kaprah ketika anda menganggap kegiatan menulis ini disamakan dengan ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Kalau dipandang sedemikian maka seharusnya MENULIS dianggap bid’ah sesat (dholalah).
Begitulah, karena salah anggapan seperti inilah, maka selama ini sedikit-sedikit ada yg bilang bid’ah! Tahlilan itu bid’ah, Maulid juga bid’ah, Yasinan itu bid’ah dan berdosa para pelakunya kaya wahabi yang gembar gembro bid'ah sesat neraka
.
Padahal semua ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh yang ada wasail dan maqosid-nya sebagaimana contoh di atas. Jadi kalau semua itu ditanya mana dalilnya pasti ada di maqosidnya, demikianlah.
Yaudah mbah kasih contoh lagi biar semakin jelas ?
Di Indonesia ada macam-macam kegiatan Pengajian (kajian ilmiyyah) dan Tabligh Akbar. Awalnya bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari Rasul jadi hukumnya mubah. Tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah berupa tholabul ilmi ,pembacaan Al Quran dan tausiyah atau bahkan dakwah maka kegiatan pengajian dan tabligh akbar insyaallah berpahala, bernilai ibadah.
(wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh akbar, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka tholabul ilmi dan berdakwah).
Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh maka sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah.
Demikian juga dengan Maulid, bahwa maulid adalah wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul dan mengagungkannya. Bagaimanakah hukum awal dari Maulid?
Jawabnny adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak dilakukan.
Tapi kenapa menjadi sunah? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengenal dan mengagungkn Rasul adalah Sunah disamping ada bacaan Quran +tausyiah).
Karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maqoshid) – ini adalah kaidah ushul fiqh.
- Pertanyaan yang Salah Bagaimana Dijawab?
-----------------
Contoh gampangnya untuk penjelasan Lil Wasail hukmul Maoshid: anda membeli air hukumnya mubah, mau beli atau nggak, gak ada dosanya. Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Kembali lagi ke Maulid. Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yang bid’ah (dholalah)? Ya, bisa jika anda menganggap Maulid adalah sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh.
Perlu digaris bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ada dalilnya memperingati maulid Nabi? INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH. Tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil qoth’inya.
Contoh lagi biar lebih gampang mencerna: anda berangkat bersekolah, ini adalah wasail. Maqoshidnya adalah tholabul ilmi. Karena tholabul ilmi itu hukumnya wajib maka berangkat ke sekolah pun menjadi wajib dan bernilai ibadah. Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi. Jika ditanya: “Manakah dalil yang menyuruh kita berangkat ke sekolah?” JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.
Begitu pula dengan Maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada dalilnya dong? Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu memperingati Maulid? JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.
Jangan sedikit-sedikit bertanya “MANA DALILNYA” tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak. Sadarlah kalian, bagaimana pertanyaan bisa dijawab kalau pertanyaannya saja salah?
Sejak sekarang mulailah belajar membedakan apakah sesuatu itu butuh dalil atau tidak. Sebab tidak semua hal itu harus ada dalilnya

Dan yang terakhir mbah hadirkan Nasehat SYEH AlBANI buat ente " yang dikit" ttanya Mana dlinnya Mana dalinya Mana dalinya :V
، فترى الرَّجلَ العامي الذي لا يفهم شيئًا إذا سألَ العالم عن مسألة ما ، ما حُكمُها ؟ سواءٌ أكانَ الجوابُ نفيًا ومنعًا بادرَ بمطالبته : ما الدليل ؟ وليس بإمكان ذاك العالم - أحيانًا - إقامة الدليل ، خاصةً إذا كان الدليلُ مستنبطًا ومُقتبسًا اقتباسًا ، وليس منصوصًا عليه في الكتاب والسنة حتى تُوردَ الدليل ، ففي مثل هذه المسألة لا ينبغي على السائل أن يتعمَّق ويقول : ما الدليل ؟ يجبُ أن يَعرفَ نفسه : هل هو من أهل الدليل أم لا ؟ هل عنده مُشاركةٌ في معرفة العامِّ والخاصِّ ، المُطلقِ والمُقيَّدِ والناسخ والمنسوخ ، وهو لا يفقه شيئًا مِن هذا ، فهل يفيدُه قولُه : ما هو الدليلُ ؟! وعلى ماذا ؟! أقولُ : على
"Engkau melihat akan seorang awam yang tidak mengetahui sesuatupun jika bertanya kepada seorang alim tentang hukum suatu permasalahan : Apakah hukumnya? Baik jawaban itu berupa penafian atau pelarangan, ia segera menuntut alim tersebut : Apa dalilnya???? Ndii dalileee ???
Dan terkadang tidak memungkinkan bagi alim tersebut untuk menegakkan dalil, khususnya jika dalil tersebut merupakan hasil istimbath dan iqtibas (pengambilan), serta tidak termaktub nash-nashnya dalam Kitab dan sunnah, sehingga dapat dibawakan dalilnya. Maka dalam masalah seperti ini, tidak selayaknya bagi penanya untuk berdalam-dalam dan kemudian berkata : Apakah dalilnya? Dan wajib atasnya untuk mengenal dirinya : Apakah ia termasuk ahli dalil atau bukan?????
Apakah dia memiliki andil dalam pengetahuan tentang 'aam wa khas, Muthlaq wa Muqayyad, naasikh wa mansuukh, sedangkan dia tidak memahami sedikitpun dari hal ini. Maka apakah ia akan mendapat manfaat dari perkataannya : Apakah dalilnya? Ataukah mengapa?"
(Tanya Jawab bersama Syaikh Albani. Muhammad Nasiruddin al Albani. hal 19 - 20)
Haha saya jadi berfikir beginiiiii
"""Ternyata seorang syaikh yang anti taqlid-pun gerah ketika ditanya-tanya : apa dalilnya?mana dalilnya deee ele le elee cry emoticon grin emoticon apalagi saya ga gerah ga jengekel kalo ada orang yang dikit" naya mana dalilnya ???
Sooooo. Jika seorang awam gak boleh sembarangan nanya "apa dalilnya?" kepada seorang alim, maka bagaimana dengan sebagian orang bodoh yang gemar menyerang orang awam dengan pertanyaan "apa dalilnya?". apakah manfaat yang dia dapatkan dari pertanyaan itu selain memecah-belah, menimbulkan permusuhan serta untuk merendahkan mereka yang memang awam
Ckckckck ne ono sing teko ndi dalilee ,,pundi dalile ,,mana dalilnya mending di bakarke menyan
‪#‎Sarkub‬ ‪#‎Aswaja‬ ‪#‎KampusMenyan‬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar